Don't Let "It" Win the Battle




"Komunikasi yang produktif adalah salah satu kunci keberhasilan dalam pernikahan" (Ibu Profesional Semarang)

Begitulah sebuah quote yang saya baca dalam postingan instagram akun Ibu Profesional Semarang. Memang betul sekali hal itu, saya sendiri mengakuinya dan sampai sekarangpun komunikasi masih menjadi tantangan bagi kami berdua, saya dan suami dalam berinteraksi setiap harinya.
Kebetulan tema-tema yang dibahas dalam minggu ini baik di WA Grup Ibu Profesional Semarang maupun kelas Bunsay#5 Jateng adalah mengenai komunikasi produktif. Dalam materi Level#1 yang saya dapat di Kelas Bunsay tentang komunikasi Produktif menyebutkan bahwa tantangan terbesar dalam berkomunikasi adalah komunikasi dalam diri sendiri? Lho kok bisa? Sayapun mengerutkan kening sendiri membaca judul tersebut. Tak menunggu lama sayapun melanjutkan membaca dan tak lama kemudian saya pun mengangguk-angguk tanda telah mendapat pencerahan lebih lanjut.

Jadi, inti dalam berkomunikasi dengan diri sendiri adalah membangun mindset positif dalam diri kita sendiri, karena ketika kita dalam keadaan yang positif (baca: bahagia, rileks, senang, gembira, santai dan nyaman), maka secara tidak langsung hal itu pun akan mempengaruhi pola pikir kita terhadap sesuatu hal, dan juga mempengaruhi kata-kata yang kita ucapkan atau utarakan kepada lawan bicara kita. Namun, sebaliknya, bila kita dalam keadaan yang negatif (baca: jengkel, marah, kesal, sedih, lelah, capek, khawatir dan sebagainya), maka pada akhirnya pola komunikasi kita pun cenderung negatif dan biasanya malah akan menimbulkan tantangan baru.

Contoh yang saya alami sendiri setelah kemarin mendapat materi tentang komunikasi produktif tersebut ditambah diskusi seru dari teman-teman mahasiswi kelas Bunsay #5 Jateng membuat saya mendapatkan banyak wawasan dan tambahan informasi baru terkait komunikasi dengan pasangan.

Jadi, sebelumnya suami saya telah memberitahu saya bahwa pada tanggal 25 - 27 Maret 2019, beliau mendapat tugas ikut workhsop di Bali. Transportasi pulang dan pergi menggunakan pesawat dan tiket pun telah dipesan. Hari keberangkatan pun tiba. Suami mendapat jadwal penerbangan pagi ke Bali pada hari Senin sekitar pukul 6.00, jadi tentunya harus berangkat gasik dari rumah untuk mengantisipasi banyak hal, seperti kemacetan di jalan, dan lain-lain. Alhamdulillah semua berjalan lancar sampai akhirnya saya mendapat pesan dari suami bahwa beliau telah sampai di Bali dengan selamat.

Setelahnya saya di rumah bersama anak pun beraktifitas seperti biasa, menemani anak beraktifitas, belajar online dan mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya yang masih harus kejar setoran (baca: menyetrika tumpukan baju-baju, hehehee...). Seharian itu berjalan seperti biasa sampai akhirnya waktu tidur malam kembali tiba. Tidak ada kabar lagi dari suami, saya sedikit kecewa juga. Sebelum akhirnya beranjak tidur, saya sempat mengirim pesan emoticon kepada suami yang artinya, Hello, anybody home?

Hari kedua saat suami di Bali. Pagi-pagi saat saya membuka WA masih tidak ada pesan apapun yang masuk dari suami, padahal pesan saya semalam bertanda sudah dibaca oleh si penerima pesan. Gemas juga rasanya, mulai berfikir yang tidak-tidak. Sebagaimana hal yang memang sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa perempuan memang cenderung berfikir dengan perasaannya, begitupula pada saat itu. Ada sedikit rasa sedih, kecewa tidak mendapat kabar dari suami sama sekali. Lalu, karena pikiran saya pada saat itu cenderung negatif, jadinya mengundang hal-hal negatif lain untuk datang. Kenapa Ayah tidak kasih kabar sama sekali sih, sekedar bertanya tentang si kecil, atau sekedar kirim foto tempat acara, begitu, Ayah emang sudah tidak perhatian lagi sama kita, dan pikiran-pikiran tidak enak yang lainnya yang kalo diingat-ingat saat kondisi hati lapang malah jadi hal yang menggelikan.

Lalu, saya pun mencoba menarik nafas panjang, dan mengingat-ingat kembali tentang materi dan diskusi-diskusi terkait komunikasi produktif sembari mencoba berkomunikasi positif kepada diri saya sendiri. Tentang bagaimana berkomunikasi produktif kepada pasangan, kepada kaum adam yang memang cara berpikirnya sudah berbeda dengan kaum hawa. Juga tentang poin-poin yang harus diperhatikan saat berkomunikasi dengan pasangan, salah satunya yang saat itu saya ingat adalah tentang kejelasan maksud dan tujuan dari apa yang kita bicarakan (clear and clarify).

Setelah beberapa saat menenangkan diri, saya tersadar bahwa kecenderungan perasaan negative yang saya rasakan adalah sebenarnya akibat dari adanya sesuatu hal yang menurut saya penting dan mendesak, yaitu saya ingin menyampaikan beberapa informasi kepada suami saya terkait beberapa hal, diantaranya yaitu tentang keinginan saya untuk mengikuti sebuah seminar dan workshop yang akan diadakan dalam waktu dekat ini, dengan kontribusi yang memang lumayan mahal. Kemudian, saya ingin menyampaikan informasi terkait tugas tantangan kelas Bunsay yang sudah dimulai, dan setelah menimbang-nimbang, saya ingin mengobservasi komunikasi antara saya dan suami dalam tantangan Level#1 ini karena untuk anak, nanti akan ada jatahnya sendiri di Level berikutnya. Menurut saya sendiri, selama ini yang saya alami, jika komunikasi saya cukup lancer dengan pasangan, maka dengan anakpun saya akan lebih bisa mengkondisikan diri. Namun, apabila saya sedang miskomunikasi dengan pasangan, kadang-kadang akibatnya bisa menular ke anak. Ketika apa yang saya sampaikan kepada suami tidak mendapat respon yang baik, atau tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, maka kadang-kadang rasa jengkel saya yang muncul kepada suami beralih kepada anak saya yang memang dalam keseharian lebih sering bersama dengan saya. Saya ingin meminta ijin kepada suami untuk menceritakan seputar hal ini nanti sebagai laporan tugas tantangan saya di Bunsay Game Level #1.

Akhirnya setelah itu, saya mencoba mengirim singkat sebuah pesan kepada suami, dan kebetulan suami sedang online dan langsung dibalas. Kami berkirim pesan beberapa saat hingga akhirnya saya harus kembali meletakkan gawai karena memang saat itu si kecil sedang aktif beraktifitas sehingga komitmen saya untuk sebisa mungkin menjauhkan gawai dari si kecil bisa terlaksana.
Malamnya, ketika si kecil tidur saya baru bisa melanjutkan berkirim pesan lagi kepada suami. Saya menulis panjang kali lebar, tentang beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada suami. Ketika menulis pada saat ini, saya lalu teringat poin clear dan clarify dalam kaidah komunikasi efektif. Jadi, saya pun membuat rangkuman ringkas berupa poin-poin tentang inti dari chat wa saya yang panjang di atas kepada suami. Setelah menulis, saya sedikit tersenyum geli sendiri. Memang ya, wanita itu, baik memakai bahasa lisan maupun tulisan, tetap bisa merangkai banyak kata, melepaskan kebutuhan 20.000 kata perhari untuk digunakan. Memakai narasi dulu untuk bertanya sebuah pertanyaan, membuat karangan dulu hanya untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang sebenarnya bisa diringkas ke dalam satu kalimat. Ribet, kata suami saya, kaum adam yang memang pada dasarnya suka segala hal yang ringkas-ringkas. 

Hari ke tiga, saat malamnya saya mengirimkan untaian pesan berantai yang panjang, pagi-pagi setelah waktu sarapan suami video call saya, sedikit menanyakan kabar, memohon maaf karena memang agenda workshopnya agak padat hingga malam hari. Kami chit chat beberapa saat bersama si kecil juga, membuat pagi saya sedikit lebih berwarna dan lebih berbunga-bunga walaupun hanya sekedar mendapatkan sapaan di dunia maya jauh disana. #ecieee

Saat saya menengok pesan wa, ada balasan dari suami. Seperti biasa, balasannya pendek-pendek dan langsung menjawab pada rangkuman ringkas poin-poin tentang inti chat wa saya semalam, tidak memberi tanggapan apapun tentang narasi cerita saya yang panjang mengular. Baiklah, tidak apa-apa, yang penting saya juga sudah mendapat jawaban dari hal yang saya ingin ketahui. Ya, memang kalau dipikir-pikir, bukankah intinya memang itu? Saya tersenyum senang.

Bagi saya sendiri, pengalaman yang saya tulis di atas memberi sebuah pelajaran tersendiri. Selama ini, memang dalam mengutarakan sesuatu kepada suami, saya masih lebih banyak memakai bahasa tulisan seperti melalui chat wa, agar bisa lebih jelas juga karena selama ini setelah ada si kecil di rumah kadang kalau sedang berbicara dengan suami memang sudah sering mendapat interupsi dari si kecil sehingga akhirnya tidak tuntas. Untuk hal-hal yang lumayan penting saya sampaikan terlebih dulu lewat wa, lalu kemudian setelah ada kesempatan bertatap muka baru dibahas lagi. Nah, selama ini ketika chat wa pun saya memakai narasi panjang kali lebar dan tidak memberi ringkasan dari apa yang saya tuliskan secara panjang kali lebar tersebut, jadi mungkin suami juga jadi bingung ya inti dari apa yang saya sampaikan. Kedepan saya akan lebib bisa belajar lagi tentang hal ini dan juga kuncinya adalah tentang cara berkomunikasi dengan diri sendiri, jangan biarkan hal-hal negative datang meracuni pikiran, menebar virus-virus negative yang lain, hingga merusak mood baik. Kita bisa merubah pikiran kita untuk senantiasa berfikit positif, jangan terbawa perasaa. Don’t let the negative feeling control us. Don’t let it win the battle.

 

#hari1
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang

@institut.ibu.profesional

`

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan Rintik-rintik, Airnya Bergelombang

Membuat Es Krim Bersama Ayah

Jalan-jalan Ke Jogja