Pola Komunikasi
"Kata-kata yang kamu ucapkan adalah do'a" (dr. Dedy Susanto PJ)
We are what we think, we are what we feel. Be careful with our mind, words and feeling.
Akhir-akhir ini saya sedang mengamati pola komunikasi antara suami saya dengan anak kami yang saat ini berusia 28 bulan. Si kecil yang sudah mulai banyak bicara karena sudah mulai paham beragam kosakata, dan ia pun juga sudah mulai banyak paham akan beberapa kata dan kalimat yang kami ucapkan.
Diantara yang menjadi perhatian saya adalah kata-kata yang biasanya atau seringkali diucapkan ketika anak melakukan sesuatu hal yang kurang diinginkan atau tidak sesuai dengan keinginan atau harapan orang tua pada saat itu.
Misalnya pada saat setelah mandi, anak susah dipakaikan baju. Si kecil lari kesana kemari dalam keadaan tanpa baju. Tentu saja hal ini bukan keadaan yang diharapkan para orang tua manapun, bukan? Pengennya sih anak habis selesai mandi langsung mau dipakaikan baju tanpa drama lari marathon, hehe. Tentunya tidak setiap hari juga seperti ini. Lalu pada saat jam makan, pengennya anak makan dengan anteng, tanpa nasi atau makanan berhamburan kemana-mana. Nah, pengennya kan, pengennya kan begitu kan ya? Tetapi, begitulah proses belajar anak-anak, mereka melakukan banyak hal, trial and error, seperti kita waktu kecil dulu.
Di saat-saat seperti inilah biasanya saat yang memang menguji mental dan kesabaran para orang tua semua, termasuk saya dan suami. Lalu, terkadang kita pun melakukan berbagai macam cara agar keadaan bisa kembali sesuai yang kita harapkan.
Nah, saya seringkali mengamati dan mendapati suami, mungkin saja juga diri saya sendiri tanpa saya sadari cenderung menggunakan bahasa atau kata-kata alias ucapan seperti ini:
"Nak, ayo pake baju dulu, kalau tidak pake baju NANTI dimarahin pak polisi." (Apa hubungannya coba sama Pak Polisi?)
Nak, jangan main disitu ya. Ada Kecoa lho.. ada kecoa lhoo disitu (Padahal nggak ada kecoa kok disitu, cuman kita kurang suka anak main di tempat tersebut)
Nak, jangan..jangan nggak boleh pake itu, NANTI dimarahin Ayah loh, dimarahin Bunda loh (pada kenyataannya Ayah maupun Bunda bukan tipe orang pemarah malah lemah super lembut. Nah lhoo)
Nak, makannya dihabiskan ya, kalo nggak habis nanti ayamnya mati lho (ha, udah pada familiar kan sama ucapan ini???)
Dan beberapa contoh yang serupa itu. Ketika saya mencoba bilang tentang hal tersebut kepada suami, tanggapan suami adalah, masa sih? Emang aku bilang kaya gitu? Dia sendiri meragukan padahal jelas-jelas saya masih ingat dengan jelas. Bahkan mungkin diri saya sendiri tanpa sadar terkadang juga mengucapkan hal serupa itu saat kondisi anak sedang tidak sesuai dengan kenyataan yang saya harapkan.
Saya lalu sedikit menggoda suami tentang pengalaman di rumah beberapa hari yang lalu. Alhamdulillah selama ini, rumah kami bebas dari tikus. Lalu beberapa hari yang lalu saya mengamati suami seringkali bilang, “Nak, jangan main disitu. Nanti ada tikus. Nanti ada tikus,” lalu qadarullah pada waktu malam saat suami saya sedang lembur tiba-tiba beliau bilang, ada tikus masuk. Waa.. kata saya. Singkat cerita oleh suami saya si ekor panjang itu bisa diusir keluar rumah dengan halus.
“Kenapa ada tikus ya?” Suami pun heran
Tuh kan Yah, tikusnya dipangggil-pangggil terus sih jadi dia dating. Siapa coba yang suka bilang ada tikus? Ada tikus? Seloroh saya. Suami hanya manyun saja. Hehehe…
Teringat sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang psikolog jiwa, bahwa “kata-kata (yang kita ucapkan) adalah do’a. Menurut KBBI, do’a berarti permohonan (permintaan, harapan, pujian) kepada Tuhan.
Saya juga sempat mengamati kalo beberapa tetangga saya juga terkadang mengucapkan hal yang serupa itu kepada anak saya.
“Ayo..yo ayo.. lakukan ini dulu (yang kita harapkan kepada anak), kalo nggak NANTI (bahasa ancaman, alasan yang sebenarnya kurang masuk akal, tidak rasional dan kreatif, dll.
Fenomena apakah ini?
Di sela-sela family time bersama anak, menemani anak beraktifitas bersama pada pukul 1821 no gadget and TV, kadang saya juga sedikit memancing diskusi sama suami, utamanya hal-hal yang terkait dengan anak. Seperti bahasan di atas, walaupun selama ini respon suami memang masih seringkali diam seperti biasa, tidak banyak tanggapan, membiarkan saya lebih banyak bercerita. Tetapi, paling tidak saya telah berusaha menyampaikan informasi yang sekiranya perlu kami berdua tahu tentang pengasuhan anak, dan karena memang selama ini anak kami benar-benar diasuh berdua saja oleh saya dan suami, jadi saya pengennya juga suami sama-sama bisa belajar. Tetapi, memang begitu tipikal kaum Adam ya, mereka diam tetapi sebenarnya diam-diam mendengarkan dan memperhatikan. Awalnya saya juga baper, tapi lama-lama jadi lebih bisa memahami tipikal karakternya.
Saya kemudian menyampaikan pandangan saya terkait fenomena di atas. Menurut saya pribadi, itu adalah pola komunikasi warisan, yang sebelumnya telah digunakan oleh orang tua kita saat mengasuh kita dulu (ya tidak semuanya, tapi sepanjang pengalaman yang saya dapatkan sendiri kebanyakan seperti itu) lalu menurun, terekam secara tidak sengaja dalam memori kita, dan terpanggil lagi saat giliran kita mengasuh anak sendiri. Dan pola komunikasi warisan yang menurut saya kurang baik (kurang tepat) ini harus diputus, tidak boleh dipakai atau dilanjutkan lagi. Pada awalnya mungkin terasa susah, namun lama-lama insyaAllah menjadi mudah dan semuanya akan berakhir dengan indah. Aamiin..
Lanjut lagi menurut saya, pola komunikasi seperti ini pun akhirnya terbawa menjadi semacam ciri khas budaya masyarakat kita, seperti suka mengkambinghitamkan orang lain atas peristiwa yang terjadi yang menimpa dirinya sendiri, atau otomatis selalu suka mencari-cari alasan ketika ada sesuatu hal yang tidak diharapkan terjadi.
“Ayo, kerjakan PRnya, nanti kalau tidak mengerjakan PR dimarahi Bu Guru lho.”
“Ayo, makan yang banyak, nanti kalau makannya sedikit gampang sakit, nanti disuntik sama Pak Dokter.”
“Ayo, bergegas, kalau tidak cepat-cepat, nanti Ayah tinggal lho.”
“Yok, ayok pake baju, malu lho nanti dilihat orang, nanti ada Pak Polisi (lagi!)”
Kalau kita amati sekali lagi, pola komunikasi semacam ini kepada anak lebih condong membangun dorongan atau motivasi dari luar, bukan dari dalam dirinya sendiri. Kenapa ia harus begini, kenapa ia harus begitu, kalau tidak begitu nanti ORANG LAIN akan seperti ini atau seperti itu (budaya ewuh pakewuh kan, tidak enakan sama orang lain?). Alasan lainnya mungkin juga cari praktisnya, karena mengutarakan hal yang benar dan baik memang terkadang butuh proses dan waktu kepada anak. Nah, disinilah tantangannya.
Mungkin dalam beberapa situasi hal ini memang baik, tapi akan lebih baik lagi ketika kita sebagai orang tua bisa memotivasi anak dari dalam dirinya sendiri, membiasakan anak akan sesuatu hal, suatu resiko yang akan diterimanya ketika ia tidak melakukan sesuai apa yang diharapkan. Sebagai orang tua kita juga harus bisa berlatih untuk bersabar terhadap sebuah proses, juga berlatih untuk mencoba mengutarakan perasaan yang sebenarnya, apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan.
“Ayok nak, pakai bajunya yuk, malu sama Allah, malu kalau auratnya terlihat karena itu adalah bagian yang harus ditutupi dan dijaga. Yuk, nak sholih sholihah”
“Ayok Nak, kerjakan PRmu. Itu tanggungjawabmu bukan? Mengerjakan PR sama artinya dengan belajar mandiri. Bu Guru memberikan PR agar kamu bisa lebih memahami tentang pelajaran di sekolah.”
Proses yang panjang bukan? Tentunya butuh kesabaran. Dari situlah kemudian bisa muncul dialog-dialog atau percakapan yang saling membangun antara orangtua dan anak, dialog yang rasional, dan tentunya akan membentuk pola piker anak kita nantinya saat ia dewasa nanti. Sunggguh, sebuah tanggungjawab yang berat.
Saya sendiri sampai sekarang juga masih terus belajar tentang hal ini. Ketika ada sesuatu hal yang tidak saya senangi, pada mulanya, saya masih saja suka menyalahkan, menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, termasuk suami dan anak. Mengkambinghitamkan orang lain atas sesuatu yang tidak saya senangi, kemudian muncul perasaan jengkel, tidak enak hati hingga akhirnya menjadikan bad mood dan tentunya berdampak pada aktifitas keseharian saya di rumah ketika membersamai anak.
Saya mulai belajar untuk mengutarakan pendapat dengan baik, terutama tentang perasaan atas apa yang saya rasakan ketika sesuatu hal terjadi dan hal tersebut kurang sesuai dengan harapan saya. Berlatih menyampaikan dengan bahasa yang jelas dan ringkas kepada suami, tidak bertele-tele alias to the point, karena memang itulah inti ketika berbicara kepada kaum Adam.
Begitupula dengan anak, yang tentunya butuh usaha ekstra, tenaga dan kesabaran agar anak bisa paham apa yang saya mau dan juga belajar tentang cara berkomunikasi yang baik. Ingat bahwa anak itu adalah peniru ulung kedua orangtuanya, dan saya telah banyak membuktikan tentang hal ini.
Begitulah kurang lebih inti dari diskusi yang sebenarnya ingin saya sampaikan kepada suami. Saya sendiri sepenuhnya bertanggung jawab terhadap hal-hal yang saya kemukakan ini, dan siap untuk belajar. Sekali lagi suami seperti biasa lebih banyak diam, sembari meladeni anak bermain. Diam tapi diam-diam mendengarkan dan semoga juga bisa paham bahkan lebih dari paham yaitu mau mempraktekannya dalam keseharian. Memperbaiki pola komunikasi yang selama ini kurang tepat atau tidak baik untuk dipakai dalam berkomunikasi dengan anak. Ya, saya dan suami juga masih sama-sama saling belajar sebagai orang tua, saling megingatkan dan saling menguatkan bersama.
#hari2
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar