Refleksi Diri: Berani Mengungkapkan Perasaan
“Kualitas hubungan sebuah keluarga tercermin dari cara berkomunikasinya” quote by tim coco Bunda Sayang IIP 2019.
Tak terasa enam hari telah berlalu sejak saya memulai tantangan Bunsay Game yang pertama di level satu. Banyak hal yang telah terjadi dan saya juga pelan-pelan memulai kebiasaan baru, yakni memaksa diri untuk menulis satu hari satu tulisan, tentunya yang terkait dengan tema materi Bunsay Game Level 1 ini yaitu tentang Komunikasi Produktif dan penerapannya terhadap anggota keluarga. Sejak awal saya memutuskan untuk focus mengobservasi suami sebagai partner saya dalam tugas Bunsay di Level pertama ini. Karena menurut saya pribadi, jika saya telah bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik pada suami saya, maka selanjutnya hal itu akan bisa berdampak ke anak (komunikasi saya pada anak juga jadi ikutan membaik) tapi tentu saja tetap perlu diasah dan dilatih karena level pemahaman anak-anak tidak sama dengan orang dewasa, perlu strategi khusus utuk berkomunikasi dengan anak sendiri.
Saya sudah menikah dengan suami selama kurang lebih hamper empat tahun, selama itu pula telah terjadi banyak hal dalam mahligai rumah tangga kami berdua. Perbedaan pendapat, sudut pandang, kebiasaan, cara makan, hingga hal sederhana seperti cara memencet pasta gigi, dan sebagainya. Salah paham mulai dari hal sepele sampai hal besar. Masalah anak hingga masalah keluarga besar. Nah, memang begitulah lika liku kehidupan berumah berumah tangga. Setiap keluarga selalu punya tantangan masing-masing dalam kehidupan rumah tangga mereka sendiri, yang menjadi pembeda adalah bagaimana cara masing-masing keluarga mengatasi tantangan yang ada. Bagaimana mereka mencapai suatu kesepahaman di dalam mengatasi sebuah tantangan yang ada dalam kehidupan rumah tangga.
Pemahaman-pemahaan yang baik tentunya didapat dengan belajar, menambah ilmu dan wawasan. Belajar pun bisa dari beragam sumber, bisa dari buku, kajian langsung atau dari ceramah-ceramah di televise maupun di you tube, instagram, facebook. Bisa juga belajar langsung dengan para guru asli yang memang mengajar di ruang-ruang kelas ataupun para guru kehidupan seperti ibu kita, ibu mertua, suami, tetangga, penjual sayur langganan, anak kita sendiri, juga melalui alam sekitar/ lingkungan dan juga dengan melakukan refleksi diri.
Berikut saya kutipkan arti dari refleksi diri yang saya ambil dari laman ini:
Refleksi diri adalah sebuah perenungan pengalaman atau kesalahan masa
lalu yang dibarengi dengan introspeksi diri agar menjadi pribadi lebih baik di
masa depan. Manusia melakukan refleksi diri untuk mengimbangi masalah yang
terjadi, baik masalah yang bersumber dari dalam hati maupun masalah yang
bersumber dari factor luar, seperti lingkungan dan sesame manusia. Dengan kata
lain, refleksi diri merupakan penetral kehidupan terutama di saat impian atau
harapan tidak seirama dengan fakta atau kenyataan.
Ya, istilahnya hamper sama dengan merenung; merenung
ke dalam diri sendiri akan pengalaman-pengalaman yang telah dilalui untuk
diambil hikmahnya, atau dalam istiah Islam dikenal dengan istilah Mutabaah.
Lalu, saya pun mengambil waktu yang tenang, biasanya
di malam hari saat anak dan suami telah tertidur dengan tenang (nah, ini yang
dibilang suami saya kalau saya keseringan begadang. Lah gimana dong Yah, waktu
prime ‘me’ timenya emang cuma diwaktu malam gini, cuma kadang emang suka
kebabablasan tau-tau kok ya udah lewat tengah malam aja, hihi). Saya mulai
merenungi kembali perjalanan saya, yang saya mulai beberapa saat sebelum saya
menikah, lalu di awal-awal menikah dan kemudian saat hamil dan akhirnya punya
anak pertama.
Satu hal yang saya sadari sekarang, setelah saya
menikah. Bahwa saya benar-benar baru menyadari bahwa pernikahan menikah itu
adalah benar-benar gerbang untuk masuk pada perjalanan yang berikutnya. Pernikaahn
tidak hanya bersenang-senang saja, telah bisa hidup bersama dengan sang
pangeran impian pujaan hati di dunia, namun pernikahan adalah tiket mmasuk ke
universitas kehidupan ini.
“Pernikahan adalah langkah awal menuju perjuangan
cinta yang sesungguhnya,” begitu quote dari @momalula yang saya baca dalam
sebuah postingan instagram. Awalnya saya pun belum bisa memahami sepenuhnya,
namun kini perlahan-lahan saya mulai paham apa maksud dari quote tersebut.
Bahwa pernikahan adalah sebuah pembuktian cinta, kepada diri sendiri, kepada
pasangan kita, kepada anak, kepada lingkungan masyarakat, dan juga kepada Rabb
Semesta Alam.
Semenjak awal menikah, saya menginginkan adanya komunikasi
yang saling terbuka antara saya dan suami. Karena dari keluarga saya sendiri
(orang tua dan saudara kandung), saya merasa komunikasi yang terjalin belum
terlalu terbuka dan harmonis, walaupun memang selama ini Alhamdulillah berbagai
tantangan yang ada dalam keluarga saya tetap bisa terselesaikan dengan baik. Jadi,
saya sendiri mempunyai harapan kelak ketika berumah tangga sendiri nanti saya
sangat berharap bisa membangun komunikasi yang baik yang saling terbuka antara
saya dan pasangan. Oh ya, sedikit cerita bahwa saya dan suami hanya proses
taaruf selama kurang lebih 6 bulan sebelum menentukan tanggal pernikahan kami. Selama
ini sebelumnya saya memang tahu suami sebagai kakak tingkat saya dalam sebuah
jurusan yang sama di universitas. Tapi, saya hanya sekedar tahu saja kalau
beliau adalah kakak tingkat jauh di atas saya. Selebihnya saya tak begitu
paham, pastinya beliau memang dikenal oleh teman-temannya sebagai orang baik
dan juga rajin. Setelah beliau lulus dari universitas, lama kami tak bersua,
dan ketika beberapa kali kami berkesempatan bersua kembali, kami berdua lalu meniatkan
diri untuk melangkah ke proses pernikahan. Tentunya banyak hal dan cerita yang terjadi
dalam menempuh proses itu. Bisa panjang kalau diceritakan disini. Hehehe…
Namun, ternyata menjalin komunikasi yang terbuka
dengan pasangan hidup sendiri itu tak semudah yang dibayangkan. Saya mempunyai
sebuah harapan, sebuah keinginan memiliki keluarga yang bisa saling terbuka dan
percaya serta saling mendukung satu sama lain. Harapan dan keinginan saya ini
telah saya sampaikan pada suami. Seperti biasa tanggapan suami singkat dan
padat. “Ya, bagus itu,” kata beliau.
Seiring berjalannya waktu, saya merasa kecewa karena
harapan saya tak kunjung jua tercapai. Saya selalu merasa suami tak mau terbuka
pada saya, tak mau memberikan banyak penjelasan ketika diminta, tidak terlalu
mendukung apa-apa yang saya lakukan. Jadi, jatuhnya saya yang ternyata menutut
terlalu banyak hal pada suami disertai dengan “perasaan-perasaan” saya sendiri
yang faktanya belum tentu benar. Akhirnya timbullah konflik-konflik antara saya
dan suami. Sebentar muncul, lalu hilang, timbul kembali, lalu sedikit mereda,
begitu berulang-ulang sampai saya sendiri merasa capek dan kelelahan. Jenuh,
dan akibatnya tentu pada aktifitas kami di rumah dan pada suami dengan kerjaan
kantornya yang sedikit terganggu.
Dalam kejenuhan yang kadang muncul, disertai dengan
emosi-emosi negative, saya tetap berusaha memohon kepadaNya sang Pemberi
Hidayah, agar saya diberikan petunjuk atas tantangan yang sedang kami hadapi
ini. Saya sendiri ketika sedang dalam kondisi agak tenang berusaha memaksakan
diri dengan menambah wawasan dan menggali banyak info tentang hal ini. Alhamdulillah,
dari komunitas online yang saya ikuti, salah satunya adalah komunitas Ibu
Profesional Semarang dengan jaringannya yang luas, saya akhirnya pelan-pelan
belajar tentang banyak hal berkaitan dengan menjalin komunikasi yang baik dalam
keluarga.
Namun, saya tidak langsung serta merta menuju ke dalam
bab komunikasi yang baik pada keluarga. Ada jalan yang panjang yang harus saya
lalui sebelum akhirnya menuju bab tersebut diantaranya yaitu tentang self
healing, memaafkan diri sendiri, menuntaskan masalah inner child dalam diri, cara
pandang pada diri sendiri, belajar tentang tipe-tipe kepribadian, mengenal
kepribadian diri dan pasangan, pola asuh dalam keluarga, kebiasaan-kebiasaan
atau habit yang selama ini dilakukan, manajemen diri, waktu, prioritas,
kebutuhan, dan banyak hal lainnya yang harus saya lalui sebelum akhirnya
seiring sejalan membimbing saya menuju ke bab komunikasi yang baik pada
keluarga (pasangan dan anak).
Lalu, pelan-pelan saya renungi dan saya sadari bahwa,
selama ini saya cenderung melihat keluar (harapan saya pada suami atau orang
lain), namun abai melihat ke dalam diri saya sendiri. Ternyata saya akhirnya
harus mengakui bahwa sikap yang saya lakukan selama ini salah besar. Sayalah yang
selama ini masih menyimpan hal-hal negative dalam diri yang mengakibatkan sudut
pandang saya keluar pun menjadi negative. Masih ada gumpalan-gumpalan perasaan,
emosi terpendam yang belum tuntas, akibatnya menumpuk dalam diri saya. Hal ini
juga karena pola asuh dan kebiasaan pada keluarga saya dulu. Tetapi masa yang
sudah berlalu biarkan ia menjadi pelajaran berharga yang kita petik bagi diri
kita. Mau tidak mau saya harus bisa merubah diri saya dulu untuk dapat
menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik untuk dapat membantu tercapainya pola
komunikasi yang sehat, hangat, harmonis dan terbuka dalam keluarga.
Kemauan diri saya untuk berubah menjadi lebih baik
daripada diri saya yang sebelumnya adalah sebuah proses panjang. Saya selalu
berusaha berdoa kepada Tuhan agar diberikan petunjuk-petunjukNya. Saya sendiri
selalu yakin bahwa apapaun yang terjadi pada diri saya (orang-orang yang saya
temui, grup wa yang saya ikuti, buku-buku yang saya baca, kajian-kajian yang
saya dengar) adalah merupakan salah satu jalan petunjuk dari Tuhan, tinggal
saya yang harus berusaha menemukan petunjuk tersebut lewat serangkaian hal yang
saya alami.
Bahkan kadang secuil info yang saya dapatkan pun bisa
menjadi tamparan yang besar bagi sya, membuat saya mak jleb. Info yang kadang
sepertinya tidak terlalu saya butuhkan tetapi mengapa itu ‘malah mampir’ ke
dalam jangkauan saya, saya buka, say abaca dan saya dengar? Itulah karena kasih
saying dari Allah yang senantiasa memberi petunjukNya pada hambaNya yang mau
terus berusaha.
Berikut ini saya sampaikan sedikit rangkuman dari
sebuah kulwap tentang Tantrum, yang pada awalnya saya tidak terlalu antusias
mengikutinya.
Bismillahirohmanirohim...
Sebelum
mengetahui bagaimana cara kita mengatasi anak dalam kondisi tantrum ada baiknya
saya sampaikan hasil riset dari Pak Ading terkait dengan bagaimana seseorang
berinteraksi dengan problem atau saat menghadapi konflik
Menurut
pengamatan dan mungkin ini juga terjadi di keluarga kecil kita atau di
masyarakat sekitar kita seringkali kita menyelesaikan masalah itu belum pada
tahap bahasa.
Pada tahap
bahasa apa yang kita rasakan apa yang terjadi dan apa yang tidak enak dalam
pikiran kita kita bisa mengkomunikasikannya dengan baik pada seseorang. Seseorang
ini bisa anak bisa juga pasangan bisa juga mertua atau tetangga atau rekan
kerja
Jika belum
sampai pada level bahasa biasanya seseorang ada di antara level yang diatasnya,
yaitu:
1. Pasif
Pada tahap ini
seorang bayi tidak bisa berkata-kata atau melakukan aktivitas fisik yang bisa
dilakukan adalah kalau nggak nangis ya diem.
Nah Pernahkan
kita ngadepin anak yang ketika ditanya kamu mau apa Eh malah dia nangis atau
ketika seorang suami bertanya pada istrinya kenapa kok cemberut bukannya
menjawab tapi malah meneteskan air mata, atau sebaliknya ketika seorang istri
bertanya pada suaminya gimana Ayah masakanku bukannya dijawab tapi malah manyun
Jika kita
mendapati fenomena seperti ini itu artinya level resolusi konflik kita masih
passive.
Ujung-ujungnya
yang digunakan adalah bahasa kebatinan. Seharian
batin aja lama-kelamaan menjadi seperti bom waktu.
2. Serangan
Fisik
Berikutnya
adalah level serangan fisik dan biasanya terjadi pada anak usia 2 tahun.
Ketika
keinginannya tidak bisa didapatkan apa yang mereka lakukan? Membanting
mainannya misalnya. Atau misal lain seorang suporter suatu sepak bola ketika
tim kesayangannya gagal Stadion dibakar. Beberapa waktu yang lalu di Semarang
ini juga terjadi kekerasan pada seorang majikan oleh pembantunya, padahal sudah
diingatkan baik-baik tapi karena temperamennya dan tidak bisa mengungkapkan
problem yang dirasakan Akhirnya main fisik dipukulin majikan. Atau kalau dalam
kehidupan keseharian antara suami istri saat terjadi KDRT itu karena level
resolusi konflik nya masih pada level kedua yaitu serangan fisik.
3. Serangan
Verbal
Nah yang
terakhir adalah melakukan serangan verbal.
Contohnya
misalnya seorang suami yang tidak mau tahu atas Aktivitas keseharian istrinya.
Karena capek si suami bilang Kamu ini nggak becus ngurus anak, misalnya. Atau seorang
istri yang mengomel pada suaminya, sehingga terjadi percekcokan. Padahal belum
tentu apa yang dikatakan nya itu benar. Maka dari itu kita penting untuk
meningkatkan level resolusi konflik kita sampai pada tahap bahasa. Dengan pola
bahasa Inilah kita akan dapat mengatasi tantrum anak dengan efektif dan efisien.
Referensi : Pak
Ade Machnun presented by Kulwap Adha Edu Indonesia.
Nah, saat membaca tentang informasi itu, saya menjadi
semakin paham. Mungkin selama ini saya telah banyak membaca referensi yang
serupa, namun rangkuman singkat dan padat di atas benar-benar telah membuka
mata dan hati saya.
Bahwa selama ini, level resolusi konflik yang saya
pakai masih berkisar pada tahap satu dan tiga, bahkan terkadang pada tahap dua.
Seringnya masih berkutat di tahap satu. Jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai,
saya lebih sering diam memendam jengkel dan berharap suami mau mengerti dengan
sendirinya (oh, hal ini tak akan pernah terjadi!).
Nah pada tahap bahasa pun tidak bisa serta merta
tuntas begitu saja ketika kita menyampaikan apa yang menjadi unek-unek kita,
dan hal inilah yang akhirnya sedang saya pelajari sekarang, dalam sebuah materi
kelas Bunda Sayang level 01 tentang Komunikasi Produktif. Dalam materi
Komunikasi produktif ini, ada kaidah berbahasa yang harus diterapkan agar
tercapai tujuan/ maksud yang ingin disampaikan dengan baik. Hal itu tentunya
membutuhkan sebuah latihan yang serius dan proses panjang, serta komitmen dan
kemauan keras dalam diri. Nah proses inilah yang sedang saya lakukan bersama
teman-teman semua di kelas Bunda Sayang batch #5 Jateng saat ini. Masya Allah,
luar biasa perjalanan yang harus saya capai hingga sampai pada tahap ini. Akan tetapi,
saya bersyukur bahwa saya telah melalui tahapan-tahapan yang memang saya
butuhkan sebelum saya memang benar-benar sampai pada tahapan ini. Ah, tetiba
saya jadi teringat sebuah novel favorit saya, The Alchemist by Paulo Coelho,
kisah pengembaraan dan pencarian seorang gembala bernama Santiago. Seperti itulah
perjalanan yang sedang saya tempuh sekarang. Tahapan-tahapan dan jalan panjang yang
saya lalui merupakan sebuah proses dari Tuhan untuk memantaskan saya
mendapatkan apa yang saya inginkan.
Proses belajar yang saya alami sendiri sampai sekarang
pun semacam memberikan saya sebuah rem atau semacam control diri ketika
menghadapi situasi yang tidak saya inginkan. Saya berkata pada diri saya, “bukankah
kamu sedang belajar tentang hal ini, belajar untuk memperbaiki diri?” Ingat
komitmenmu, ucapan-ucapan yang kamu nyatakan, tulisan-tulisanmu yang telah kamu
rangkai. Ingat saat teman-temanmu memberi semangat, berbagi pengalaman yang
sama agar kamu bisa mengambil hikmahnya. Ingat guru-gurumu, guru-guru alammu. Ingat
suami dan anak yang senantiasa sabar menemanimu belajar. Ingat-ingat itu semua.”
Masya Allah, sayapun menarik nafas dan menguatkan diri kembali ke jalan yang
benar. Adapun kadang saya sesekali kelepasan, melakukan sesuatu yang nantinya
pasti bakal saya sesali. Hal itu wajar karena bagian dari proses belajar. Apresiasi
diri sendiri, ucapkan selamat pada diri karena telah jauh melangkah sampai pada
titik ini.
Semoga teman-teman semua, terutama yang telah membaca
untaian kata yang panjang ini juga senantiasa berada pada jalur yang benar,
senantiasa berada dalam naungan rahmat dan berkatNya dalam mencapai apa yang
dicita-citakan. Aamiin yaa rabbal ‘alamiyna.
Selamat berproses teman-teman semua, semangat untuk
perubahan yang lebih baik. Change to be better. Terima kasih pada suami
tercinta, Ayah Noer yang telah demikian sabar dan setia dalam menemani saya
berproses menjadi diri saya yang lebih baik lagi.
still on process..............................
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar