Belajar Bersama Si Kangkung


Bismillahirrahmanirrahim




Sebagai orang tua, saya sudah tahu, baik dari membaca buku-buku bertema parenting, maupun dari seminar-seminar parenting yang saya ikuti langsung maupun saya tonton lewat dunia maya, bahwa pemakaian gadget itu tidak baik untuk anak-anak, apalagi anak yang masih usia 2-3 tahun. Bahkan, menurut Abah Ihsan, seorang pakar parenting Nasional, untuk anak dibawah 2 tahun, sebaiknya no gadget at all. Nggak usah dikasih sama sekali. Toh buat apa? Kecuali memang mungkin yang LDM ya, buat Video call aja sama orang tuanya. Selain itu, nggak usah sama sekali. 

Saran para ahli juga untuk anak yang baru usia 2-5 tahun itu idealnya, kalau memang terpaksa dikasih gadget ya maksimal 2-3 jam per hari, itupun sebaiknya malah harus dengan pengawasan atau pendampingan dari orang tua, nggak boleh nonton sendiri, dan baiknya lagi, ya nggak harus duduk selama 2-3 jam di depan gadget juga, tapi sebaiknya dikasih time out. Missal nonton selama 30 menit sampai satu jam, pagi dan siang saja atau siang dan sore, harus terjadwal.

Begitulah teori yang ada, idealnya teori yang disarankan oleh para ahli. Ya, jaman sekarang dengan intensitas perkembangan teknologi yang melaju amat cepat, memang keseharian kita sudah tidak bisa dipisahkan lagi dengan yang namanya gadget. Anak jaman now juga, nggak mungkin mereka dilarang sama sekali akan penggunaan gadget. Hanya saja, sebagai orang tua memang harus bisa memberi panduan atas penggunaan gadget dengan bijak pada anak-anak.

Kenyataan tentu tak semudah impian yang diharapkan. Orang tua juga terkadang ingin bisa menerapkan ilmu-ilmu parenting yang sudah didapat kepada anak. Tapi memang terkadang banyak tantangannya baik dari dalam (diri orang tua sendiri), maupun dari luar (lingkungan) dan lain sebagainya.  Begitu halnya yang terjadi dengan saya.

Saya juga ingin memberi kebijakan yang baik dalam penggunaan gadget pada anak saya dalam keseharian. Kalau di luar rumah, missal di tempat tetangga tentunya saya masih memberi kebijakan untuk menonton gadget, tapi kalau di rumah, sebisa mungkin saya yang harus bisa mengalihkan perhatiannya dari meminta gadget. 

Haya juga sekarang sudah bisa banyak bicara dengan kosakata yang beragam, jadinya kadang emak emang kudu seterong.
“Bundaa…. Mau pinjem hape.. mau main games kaya kakak..” ujarnya ketika melihat kakak tetangga sebelah membawa hape dan bertemu dengan teman-temannya yang lain yang juga membawa hape. Saya menghela nafas. Memang, beberapa tetangga disini banyak anak laki-laki. Kebetulan bulan ini liburan sekolah bagi mereka, dan kadang-kadang mereka memang main games di hape bersama-sama. Ya, saya mengamati tidak begitu sering karena terkadang mereka juga main bola, atau aktifitas di luar rumah yang lainnya. Masih dalam batas wajar menurut saya. Namun, yang membuat saya sedikit merenung adalah, ya jadi begitulah trend main anak-anak sekarang, termasuk generasi anak saya nantinya. 

Kemarin saya ketemu tetangga yang baru saja memasukkan anak pertamanya ke tingkat SMP.
“ Iya, sudah diterima di SMP dekat rumah itu mbak, Alhamdulillah,” kata ibuknya.
“Ya, trus minta hape baru itu, minta dibelikan hape sendiri. Ya gimana lagi ya mbak, kalau nggak dibelikan juga kasihan. Lha teman-temannya juga sudha pada punya. Ya, itung-itung hadiah dia sudah bisa lulus ujian dengan baik dan masuk SMP disitu. Sekarang daftar sekolah juga susah mbak,” lanjut ibunya lagi. Saya hanya diam sambil mengangguk-anggukan kepala mendengarkan ibunya bercerita.

“Bundaa..” kata si kecil menarik-narik tangan saya, memutus lamunan saya.
“Iya, sayang? Ada apa?” kata saya.
“Mau minta ape..” lanjutnya lagi. Saya tersenyum dan menggeleng pelan, sambil memutar otak berpikir keras untuk mengalihkan perhatiannya.
“Eeh.. Bunda tadi belanja Kangkung, tapi belum disiangi. Yuk, bantuin Bunda petik-petik Kangkung di dapur,” kata saya mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Yuk,” jawabnya singkat sambil saya tuntun ia menuju ke dapur.




Saya mulai menyiangi daun kangkung, lalu tiba-tiba terlintas ide..
“Kaka Haya mau bantu Bunda potong-potong Kangkung?”
“Iya, mau..” jawabnya. Lalu saya ambilkan ia pisau roti dan talenan kayu yang biasa buat masak.
“Hati-hati ya sayang..” kata saya.
“Iya bunda..” jawabnya sambil mulai memotong-motong kangkung. Saya mengawasinya sambil menyiangi daun kangkung.



Saat memotong-motong batang kangkung itu saya amati ia sambil bercerita.
“Ini buat ayah, bunda.. uti, mbah kakung.. ini nanti dimasak buat ayah..” celoteh favoritnya selalu menyebut nama-nama anggota keluarga dan kerabat yang telah ia kenal sebelumnya.
Sembari menyiangi kangkung saya pun mengajaknya mengobrol banyak hal.

Daan.. namanya anak-anak, lama-lama ia mulai bosan juga.
Lalu, terpikir lagi untuk mengajaknya membuat kalung dari batang kangkung yang telah di potong kecil-kecil.



Saya mengajaknya membuat kalung itu dengan tali raffia. Awalnya ia mencoba memasuk-masukkan beberapa batang. Tak bertahan lama alias dia tidak terlalu excited. Setelah saya selesai menyiangi kangkung, ia mengajak saya main role play.

Lanjutannya next postingan yaa… hehehe..


Dalam aktifitas kali ini, saya amati untuk gaya belajarnya:
Visual : Sambil belajar warna, kangkung itu warna hijau
Auditory : Haya mengikuti instruksi yang saya berikan. Dia berceloteh dan senang diajak bercerita saat aktifitas memotong batang kangkung.
Kinestetik : melatih motoric halusnya, berlatih memotong dan meronce kalung.



#hari3
#gamelevel
4
#tantangan10hari
#
gayabelajar
#kuliahbundasayang


@institut.ibu.profesional


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan Rintik-rintik, Airnya Bergelombang

Membuat Es Krim Bersama Ayah

Jalan-jalan Ke Jogja