Pergi ke Tukang Pijat
Bismillahirrahmanirrahim…
Day 5 Level 3 Bunsay Game
Setelah aktifitas yang begitu melelahkan, apalagi setelah melewati agenda mudik libur lebaran dengan berbagai acara yang tentunya butuh banyak aktifitas fisik yang cukup menguras banyak hal, tak hanya tenaga saja, maka ada saatnya memanjakan diri yaitu salah satunya dengan pijat.
Tak hanya saya pribadi, namun saya juga memijatkan Haya. Alhamdulillah kami berdua sudah menemukan tukang pijat yang cocok dan enak untuk kami berdua. Saya dan Haya sudah punya tukang pijat langganan masing-masing. Kalau saya sendiri, mbak pijatnya saya undang ke rumah, Alhamdulillah. Kalau Haya, biasanya kami langsung datang ke rumah mbahnya yang jaraknya tak terlalu jauh juga.
Biasanya kalau saya pijat waktunya malam, bada maghrib atau isya, karena mbaknya memang bisanya jam segitu, sedangkan Haya biasanya pijat pagi hari antara jam 7an pagi kami antar ke rumah mbah pijat. Kami juga tak sering-sering pijat, hanya kadang-kadang kalau badan sekiranya sudah terasa tak enak atau biasanya setelah ada agenda yang cukup melehkan seperti liburan, hajatan saudara dan lain sebagainya.
Nah, hari ini giliran saya dan suami membawa Haya ke tukang pijat untuk dipijat. Biasanya kami memijatkan Haya antara hari Sabtu atau Minggu pagi, saat Ayah libur kerja, jadi bisa mengantar kami berdua sekaligus membantu menenangkan Haya yang biasanya selalu menangis histeris jika dipijat.
Pagi setelah bangun, kami memberitahu Haya kalau mau diajak pergi. Saat saya bersiap-siap, Ayahnya memberitahu Haya kalau mereka akan pergi ke tukang pijat.
“Mau pergi pijat ya?” tanya Haya ketika melihat saya berkemas-kemas.
“Iya, pergi pijat. Biar badannya enakan,” jawab saya.
“Nanti kalau dipijat jangan nangis ya,” tambah Ayah.
Sepanjang perjalanan Haya berceloteh, menunjuk benda-benda yang ia lihat,
“Bola..bola Bunda..” katanya menunjuk bulatan yang terpasang pada kabel yang melintang.
“Iya, jawab saya. Warna apa ya bolanya?” tanya saya..
“warna oooraa..” pancing saya.
“oranye..” lanjutnya..
Tak lama kami pun tiba di rumah tukang pijat langganan Haya, yang khas rumahnya yaitu tanpa pagar da nada sumur timba tradisional persis di teras rumah. Kemudian, tetangga sebelahnya memelihara banyak burung dara sehingga beberapa burung dara pun terlihat bertebangan melintas. Jujur saja, saya lumayan senang karena hal ini bisa menjadi sedikit hiburan bagi Haya saat antri menunggu dipijat kalau sedang rame yang mau dipijat.
Semakin besar usia Haya, ia pun sudah semakin baik mengingat, termasuk rumah mbah tukang pijat langganannya ini. Begitu Ayah memarkir motor di depan rumah, ia pun langsung menangis, meronta tak mau turun. Duuh nak, tadi kan sudah dipesan sama Bunda ya, ternyata msih nggak mempan.
Awalnya kami ditolak, karena ternyata mbahnya mau pergi, ada keperluan. Tapi lalu diterima karena beliau masih menunggu suaminya yang ternyata masih pergi takziyah di tetangga. Sambil menunggu suami, katanya, tak papa saya pijat. Setelah itu malah datang lagi sepasang suami istri yang membawa anak laki-laki. Wah, emang laris mbah yang satu ini.
Sepanjang proses pijat ya terus menangis saja bahkan sampai meronta-ronta mau kabur segala. Kami berdua menunggunya, berusaha menghiburnya. Oh ya kadang hiburan lainnya adalah, kalau kami beruntung saat memijat, lewatlah pesawat yang mau lepas landas kea rah bandara yang memang jaraknya lumayan dekat dengan rumah mbahnya. Jadi suaranya benar-benar sangat khas dan berisik sekali. Hal ini lumayan membantu mengalihkan perhatian Haya sehingga ia bisa berhenti menangis sebentar. Kata mbah pijat, roda pesawatnya bisa kelihatan dari atas atap sini lho mbak, saking rendahnya. Namun kali ini, kami tidak beruntung sebab tidak ada pesawat yang melintas mau landing ke bandara.
Pijat Haya berlangsung sekitar 30 menitan. Kadang sambil memijat, mbahnya bertanya-tanya dan bercerita. Beliau memberitahu kalau anak laki-laki yang antri setelah kami itu rumahnya jauh dan sudah langganan kesini sebulan bisa dua sampai tiga kali pijat. Mbahnya bilang suruh cari dukun pijat yang dekat rumah tapi orangtuanya tidk mau, katanya sudah cocok memijatkan anak disini.
Setelah Haya selesai dipijat, mbahnya membalurkan ramuan beras kencur ke tubuh Haya yang melihat kulitnya yang bruntus dengan raut wajah tidak suka. Hehehe, dia memang tidak begitu suka bau-bau begituan. Diluluri minyak telon habis mandi aja bisa protes dan berujung drama. Huhu..Tapi memang begitu selesai dipijat, selesai juga tangis Haya.
Biasanya, mbah pijatnya menyuguhkan dua gelas the hangat untuk kami minum. Kali ini juga. Jadi, sembari menunggu senggukan Haya reda, kami menikmati the hangat yang disuguhkan.
Saat sampai di rumah, saya bertanya pada Haya,
“Tadi siapa ya yang nangi dipijat?” tanya saya.
“Haya,” jawabnya.
“Kenapa nangis dipijat, kan jadi enak kalo dipijat,” tanya saya.
Haya diam saja sambil manyun.
“Bunda kemarin juga dipijat nggak nangis kan?” ujar saya.
“Besok lagi kalau dipijat yang anteng ya, kan enak,” pesan saya sama Haya. Ia diam sambil tepat memandang kedua bola mata saya. Setelah itu kami berdua berpelukan.
“Bunda sayang Haya, anak sholihah,” kata saya. Ia pun menepuk-nepuk bahu saya seperti biasa.
#hari5
#gamelevel3
#tantangan10hari
#myfamilymyteam
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar