Sedekah itu Mudah
Bismillahirrahmanirrahim....
Day 07 Bunsay Game Level 8
Membiasakan Anak untuk Senantiasa Bersedekah
"Senyum dong...senyum..gini.. gini..." kata Haya seraya memamerkan senyumnya yang manis dan meletakkan kedua jari telunjuk tangan kanan dan kiri di pipi kanan kirinya. Ah, sungguh melihatnya membuat hati meleleh.
Hal itu dilakukan Haya ketika mungkin melihat raut muka saya yang terlalu serius berpikir atau tidak fokus atau mulai menunjukkan emosi rasa marah atas tingkahnya yang memang terkadang semakin bertambah usia semakin challenging alias terasa menantang.
Mau tak mau saya pun akhirnya ikutan senyum, sejenak merefresh lintasan pikiran yang aneh-aneh, atau meredam emosi yang mulai memuncak. Astaghfirullahal'adzim.... saya pun beristighfar. Otak kembali memunculkan ingatan-ingatan tentang teori dan ilmu-ilmu parenting bijak yang telah saya pelajari, begini begitu. Ya Allah.. inilah saat praktek nyatanya.
Ketika anak selesai mandi malah mengajak lari marathon berputar-putar tak karuan, nggak mau dipakein baju, padahal kita tengah diburu waktu.
Atau ketika anak menumpahkan susu saat berusaha mencoba membuatnya sendiri, tak jua mau dibujuk untuk membereskannya. Lalu belum selesai kita membereskan tumpahan susu disini, si anak sudah membuat tumpahan yang lainnya disana. Ya Allah... kapan selesainya kalau begini?
Mungkin terlihat seperti peristiwa sepele sehari-hari ya. Tapi bagi seorang Ibu Rumah Tangga yang hampir setiap hari mengahadapi peristiwa serupa ini, hal ini bisa menjadi ujian tersendiri. Dan, dalam hal ini kemampuan serta ketrampilan mengolah skill emosi dan pikiran waras sangat dibutuhkan.
Switch. Merubah respon, sudut pandang atas peristiwa yang tengah terjadi. Dulu, saat saya masih single, saya pernah mengikuti kajian muslimah bersama dengan teman-teman seperjuangan saya di tempat Bu Dyah Zuber, si pengisi materi sendiri. Bu Dyah ini dikenal di masyarakat dan tetangga sekitar sebagai sosok yang menginspirasi dan semangat. Beliau mempunyai putra enam orang anak dan sehari-hari mengajar serta aktif mengisi taklim seperti suaminya dan tak mempunyai khadimat atau pembantu di rumahnya karena merasa belum terlalu butuh.
Meskipun begitu, rumah beliau itu terkenal sangat rapi, bersih, terawat dan terjaga setiap harinya setiap kali ada tamu yang berkunjung (karena beliau dan suami adalah tokoh masyarakat jadi hampir setiap hari ada tamu yang berkunjung, baik rombongan maupun tamu pribadi, selain itu beliau juga membuka toko buku di teras rumah yang dijaga oleh karyawan yang membantu beliau).
Saat kajian itu, beliau menuturkan bahwa dari sudut pandang beliau, membersihkan dan merapikan rumah, membuat rumah senantiasa rapi, terawat dan terjaga adalah seperti seseorang yang berjihad di medan perang. Jadi, kebiasaan beliau itu mengazamkan pada diri sendiri tak akan pergi tidur sebelum rumah rapi pada hari itu. Tak ada barang-barang yang berserakan, tak ada kotoran yang menempel di lantai.
"Jadi, bayangkan saja ketika kalian menyapu rumah itu sama saja dengan menembak seorang musuh di medan perang. DOR!" begitu beliau menuturkan dengan semangat. MasyaAllah, sudut pandang yang luar biasa.
"Menyapu rumah, mengepel, membereskan cucian, menyetrika, memasak, daan lain-lain, anggaplah sebagai jihad. Kita suka kan kalau rumah kita rapi, dan kita juga senang kalau kita berkunjung ke rumah orang lain tempatnya rapi dan terawat. Bukankah Islam cinta keindahan dan kerapihan? Kebersihan adalah sebagian dari Iman. Jadi kalau ada orang yang kotor, kumuh, lecek, tempatnya awut-awutan maka mungkin saja kondisi imannya perlu dipertanyakan," Masya Allah penjelasan yang membuat mak jleb jleb.
Sama halnya dengan konsep rezeki ternyata bahwa yang namanya sedekah itu tak hanya dengan uang, atau barang. Bahkan dalam sebuah hadits Shahih riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa "Senyum di hadapan saudaramu adalah merupakan sedekah bagimu," MasyaAllah, mudah dan murah kan? Tanpa modal.
Ee, tapi mungkin bagi orang yang sedang riang suasana hatinya, seperti anak-anak, disuruh senyum itu enteng bagi mereka, mudah saja khan?
Tapi coba pada orang-orang yang sedang murung, banyak pikiran, sedang terlilit hutang atau terlibat cekcok atau perselisihan, sedang khawatir. Disuruh senyum saja (senyum yang tulus lho), belum tentu bisa kan?
Ah, betapa luar biasa makna dibalik hadits tersebut. Mungkin saja bisa menjadi sedekah bernilai banyak ketika seseorang yang sedang bermasalah, murung, khawatir, lagi cekcok berusaha untuk bisa tersenyum tulus di hadapan saudara-saudaranya yang lain.
Baiklah, contohnya tak usah jauh-jauh. Ketika seorang ibu sedang kesal melihat anaknya berkali-kali basah bajunya kena air, disuruh senyum yang tulus, bagaimana rasanya?
Atau ketika seorang istri sedang sebal sama suaminya karena masalah tertentu, disuruh menjaga raut muka tetap menawan, menjaga senyuman di hadapan suami, bagaimanakah? Jawab sendiri ya bu ibu, hehehehe...
Tetap bersabar mengajari anak sesuatu yang baik sampai ia bisa juga termasuk sedekah. Menjaga intonasi suara, nada, sikap dan ucapan seperti tokoh Ibu Sali/Saliha dalam buku Seri Halo Balita itu ternyata butuh latihan dan proses panjang. Mengajari anak kebiasaan-kebiasaan baik, adab-adab sebagai seorang muslim yang baik, bacaan do'a-do'a, surat-surat pendek dalam Al Qur'an itu juga termasuk sedekah. Ya, kewajiban kita sebagai seorang ibu kepada anak yang bernilai sedekah dan bentuk ibadah kita sebagai seorang hamba kepada RabbNya. Tinggal bagaimana niatan kita pada mulanya.
Menyambung silaturahim, menciba rutin berkomunikasi dengan orang tua atau saudara yang jauh disana dengan melibatkan anak. Juga bersilaturahim dengan tetangga dekat rumah, samping kanan kiri depan belakang. Daaan banyak hal lainnya.
Lalu, sampai sini saya bingung, hehe.. dengan topik yang saya angkat sendiri. Sebenarnya kita sebagai orang tua yang membiasakan anak untuk senantiasa bersedekah atau justru sebaliknya? Anak yang fitrahnya masih suci, lekat dengan nilai-nilai kebaikan tanpa sadar menjadi sarana kita untuk senantiasa bersedekah, menjaga kita dalam jalur kebaikan.
"Bunda, jangan marah-marah tho. Senyum..ginii.. gini lhoo.."
"Bunda, sudah adzan, ayok sholat dulu ya. Jangan lupa wudhu'"
"Bunda, jangan cuci-cuci piring terus. Ayo main yuk (Biar bahagia ya nak)"
"Bunda, ini diberesin dulu ya. Yuk beresin bareng-bareng,"
MasyaAllah Nak. Astaghfirullahal'adzim.. maafkan Bunda ya Nak. Terima kasih selama ini telah membantu Bunda, mengingatkan Bunda untuk selalu berusaha memberikan sedekah terbaik yang diri Bunda bisa berikan.
Yuk Nak, berlatih memberi sedekah terbaik versi diri kita, mungkin bisa dimulai dengan memberi senyuman yang tulus pada orang lain, saudara maupun tetangga, apapun kondisi hati dan pikiran kita.
#hari07
#gamelevel8
#tantangan10hari
#cerdasfinansial
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Day 07 Bunsay Game Level 8
Membiasakan Anak untuk Senantiasa Bersedekah
"Senyum dong...senyum..gini.. gini..." kata Haya seraya memamerkan senyumnya yang manis dan meletakkan kedua jari telunjuk tangan kanan dan kiri di pipi kanan kirinya. Ah, sungguh melihatnya membuat hati meleleh.
Hal itu dilakukan Haya ketika mungkin melihat raut muka saya yang terlalu serius berpikir atau tidak fokus atau mulai menunjukkan emosi rasa marah atas tingkahnya yang memang terkadang semakin bertambah usia semakin challenging alias terasa menantang.
Mau tak mau saya pun akhirnya ikutan senyum, sejenak merefresh lintasan pikiran yang aneh-aneh, atau meredam emosi yang mulai memuncak. Astaghfirullahal'adzim.... saya pun beristighfar. Otak kembali memunculkan ingatan-ingatan tentang teori dan ilmu-ilmu parenting bijak yang telah saya pelajari, begini begitu. Ya Allah.. inilah saat praktek nyatanya.
Ketika anak selesai mandi malah mengajak lari marathon berputar-putar tak karuan, nggak mau dipakein baju, padahal kita tengah diburu waktu.
Atau ketika anak menumpahkan susu saat berusaha mencoba membuatnya sendiri, tak jua mau dibujuk untuk membereskannya. Lalu belum selesai kita membereskan tumpahan susu disini, si anak sudah membuat tumpahan yang lainnya disana. Ya Allah... kapan selesainya kalau begini?
Mungkin terlihat seperti peristiwa sepele sehari-hari ya. Tapi bagi seorang Ibu Rumah Tangga yang hampir setiap hari mengahadapi peristiwa serupa ini, hal ini bisa menjadi ujian tersendiri. Dan, dalam hal ini kemampuan serta ketrampilan mengolah skill emosi dan pikiran waras sangat dibutuhkan.
Switch. Merubah respon, sudut pandang atas peristiwa yang tengah terjadi. Dulu, saat saya masih single, saya pernah mengikuti kajian muslimah bersama dengan teman-teman seperjuangan saya di tempat Bu Dyah Zuber, si pengisi materi sendiri. Bu Dyah ini dikenal di masyarakat dan tetangga sekitar sebagai sosok yang menginspirasi dan semangat. Beliau mempunyai putra enam orang anak dan sehari-hari mengajar serta aktif mengisi taklim seperti suaminya dan tak mempunyai khadimat atau pembantu di rumahnya karena merasa belum terlalu butuh.
Meskipun begitu, rumah beliau itu terkenal sangat rapi, bersih, terawat dan terjaga setiap harinya setiap kali ada tamu yang berkunjung (karena beliau dan suami adalah tokoh masyarakat jadi hampir setiap hari ada tamu yang berkunjung, baik rombongan maupun tamu pribadi, selain itu beliau juga membuka toko buku di teras rumah yang dijaga oleh karyawan yang membantu beliau).
Saat kajian itu, beliau menuturkan bahwa dari sudut pandang beliau, membersihkan dan merapikan rumah, membuat rumah senantiasa rapi, terawat dan terjaga adalah seperti seseorang yang berjihad di medan perang. Jadi, kebiasaan beliau itu mengazamkan pada diri sendiri tak akan pergi tidur sebelum rumah rapi pada hari itu. Tak ada barang-barang yang berserakan, tak ada kotoran yang menempel di lantai.
"Jadi, bayangkan saja ketika kalian menyapu rumah itu sama saja dengan menembak seorang musuh di medan perang. DOR!" begitu beliau menuturkan dengan semangat. MasyaAllah, sudut pandang yang luar biasa.
"Menyapu rumah, mengepel, membereskan cucian, menyetrika, memasak, daan lain-lain, anggaplah sebagai jihad. Kita suka kan kalau rumah kita rapi, dan kita juga senang kalau kita berkunjung ke rumah orang lain tempatnya rapi dan terawat. Bukankah Islam cinta keindahan dan kerapihan? Kebersihan adalah sebagian dari Iman. Jadi kalau ada orang yang kotor, kumuh, lecek, tempatnya awut-awutan maka mungkin saja kondisi imannya perlu dipertanyakan," Masya Allah penjelasan yang membuat mak jleb jleb.
Sama halnya dengan konsep rezeki ternyata bahwa yang namanya sedekah itu tak hanya dengan uang, atau barang. Bahkan dalam sebuah hadits Shahih riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa "Senyum di hadapan saudaramu adalah merupakan sedekah bagimu," MasyaAllah, mudah dan murah kan? Tanpa modal.
Ee, tapi mungkin bagi orang yang sedang riang suasana hatinya, seperti anak-anak, disuruh senyum itu enteng bagi mereka, mudah saja khan?
Tapi coba pada orang-orang yang sedang murung, banyak pikiran, sedang terlilit hutang atau terlibat cekcok atau perselisihan, sedang khawatir. Disuruh senyum saja (senyum yang tulus lho), belum tentu bisa kan?
Ah, betapa luar biasa makna dibalik hadits tersebut. Mungkin saja bisa menjadi sedekah bernilai banyak ketika seseorang yang sedang bermasalah, murung, khawatir, lagi cekcok berusaha untuk bisa tersenyum tulus di hadapan saudara-saudaranya yang lain.
Baiklah, contohnya tak usah jauh-jauh. Ketika seorang ibu sedang kesal melihat anaknya berkali-kali basah bajunya kena air, disuruh senyum yang tulus, bagaimana rasanya?
Atau ketika seorang istri sedang sebal sama suaminya karena masalah tertentu, disuruh menjaga raut muka tetap menawan, menjaga senyuman di hadapan suami, bagaimanakah? Jawab sendiri ya bu ibu, hehehehe...
Tetap bersabar mengajari anak sesuatu yang baik sampai ia bisa juga termasuk sedekah. Menjaga intonasi suara, nada, sikap dan ucapan seperti tokoh Ibu Sali/Saliha dalam buku Seri Halo Balita itu ternyata butuh latihan dan proses panjang. Mengajari anak kebiasaan-kebiasaan baik, adab-adab sebagai seorang muslim yang baik, bacaan do'a-do'a, surat-surat pendek dalam Al Qur'an itu juga termasuk sedekah. Ya, kewajiban kita sebagai seorang ibu kepada anak yang bernilai sedekah dan bentuk ibadah kita sebagai seorang hamba kepada RabbNya. Tinggal bagaimana niatan kita pada mulanya.
Menyambung silaturahim, menciba rutin berkomunikasi dengan orang tua atau saudara yang jauh disana dengan melibatkan anak. Juga bersilaturahim dengan tetangga dekat rumah, samping kanan kiri depan belakang. Daaan banyak hal lainnya.
Lalu, sampai sini saya bingung, hehe.. dengan topik yang saya angkat sendiri. Sebenarnya kita sebagai orang tua yang membiasakan anak untuk senantiasa bersedekah atau justru sebaliknya? Anak yang fitrahnya masih suci, lekat dengan nilai-nilai kebaikan tanpa sadar menjadi sarana kita untuk senantiasa bersedekah, menjaga kita dalam jalur kebaikan.
"Bunda, jangan marah-marah tho. Senyum..ginii.. gini lhoo.."
"Bunda, sudah adzan, ayok sholat dulu ya. Jangan lupa wudhu'"
"Bunda, jangan cuci-cuci piring terus. Ayo main yuk (Biar bahagia ya nak)"
"Bunda, ini diberesin dulu ya. Yuk beresin bareng-bareng,"
MasyaAllah Nak. Astaghfirullahal'adzim.. maafkan Bunda ya Nak. Terima kasih selama ini telah membantu Bunda, mengingatkan Bunda untuk selalu berusaha memberikan sedekah terbaik yang diri Bunda bisa berikan.
Yuk Nak, berlatih memberi sedekah terbaik versi diri kita, mungkin bisa dimulai dengan memberi senyuman yang tulus pada orang lain, saudara maupun tetangga, apapun kondisi hati dan pikiran kita.
#hari07
#gamelevel8
#tantangan10hari
#cerdasfinansial
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar