Sebuah Target, Demi Siapa? : Refleksi Melatih Kemandirian Anak
Tak terasa sudah seminggu lebih tugas tantangan Bunsay Game Level 02 dengan materi Melatih Kemandirian telah berlangsung. Selama itu pula, banyak hal yang telah terjadi, banyak hal yang tak terduga pula dan juga banyak hal yang bisa dipelajari untuk diambil hikmahnya.
Selama proses melatih anak untuk membangun kemandiriannya, terutama dalam beberapa skill yang saya pilih untuk diamati yaitu membiasakan anak sikat gigi sendiri, meminta ijin ketika akan pergi atau keluar rumah dan melakukan sesuatu, serta merapikan mainan sendiri saya telah belajar banyak hal hingga akhirnya pada hari ini oh ya, tepat di pagi hari setelah menjalankan sahur yang pertama di Bulan Suci Ramadhan 1440 H, yang jatuh di hari Senin, 6 Mei 2019 saya tetiba tersadar akan suatu hal.
Awal-awal di mulai tantangan Bunsay Game Level 02 ini dengan berbekal materi dan diskusi tentang materi yang telah dibuka di kelas Bunsay #5 Jateng, saya pun mulai membuat sebuah konsep tentang pengajaran kemandirian yang akan saya lakukan bersama ananda di rumah. Saat ini, ananda Haya tengah berusia 31 bulan, dan tentunya pengajaran kemandirian yang saya coba latihkan adalah tentang pengajaran yang masih terkait basic life skills, seperti makan sendiri, membuat susu sendiri, mencoba memakai celana sendiri, mandi sendiri, merapikan mainan sendiri, dan sebagainya.
Nah, tentunya dalam membuat sebuah konsep itu saya juga membuat sebuah target pencapaian juga alias sebuah pengharapan akan tercapainya sebuah hasil yang memuaskan, membanggakan dan juga sesuai dengan apa yang saya targetkan ke anak. Ulangi sekali lagi ya, SESUAI DENGAN APA YANG SAYA TARGETKAN KE ANAK.
Awal-awal tentunya saya tidak menyadari hal ini ya, karena saking semangatnya… jadi ya pokoknya saya tentu saja berfikir bagaimana caranya, bagaimana supaya bisa tercapai, bagaimana kalau begini, kalau begitu. Dan akhirnya saya pun menjadi lupa. Lupa bahwa anak saya masih berusia 2 tahun. Lupa dan buta akan target-target yang saya buat sendiri. Lalu, kalau target itu tercapai, sebenarnya utamanya buat siapa? Buat saya sendiri atau buat anak? Demi saya atau demi anak sendiri? Astaghfirullahal’adzim… saya pun lalu beristighfar.
Tetiba baru teringat tentang sebuah kulwap di grup Ibu Profesional Semarang tentang Mendidik Anak sesuai Fitrah dengan ilmu Tega dan Tegas yang disampaikan oleh mbak Kartika HayyaKids. Terkdang, kita merasa kecewa kepada anak ketika APA YANG KITA HARAPKAN KEPADA ANAK TIDAK MEWUJUD MENJADI SEBUAH KENYATAAN. Misal, kita mengajarkan kepada untuk merapikan mainan sendiri, kemudian suatu waktu anak tidak mau merapikan mainannya sendiri, lalu kita pun merasa kecewa, gemas marah, bahkan kadang ada yang sampai kelepasan tak sengaja membentak atau memaki anak, mengancam tidak mau membelikan anak mainan lagi, mengancam akan membuang mainan-mainan anak yang tidak mau dirapikan oleh si anak. Naudzubillah, astaghfirullah. Penilaian kita langsung tertuju kepada anak semata, tanpa mempertimbangkan hal lain.
Kita mengajarkan kepada anak untuk merapikan mainan sendiri, supaya apa? Anak belajar bertanggungjawab atas mainannya, melatih menyimpan mainan dan juga banyak hal. Selain itu juga, supaya rumah kelihatan rapi, dan jika anak sudah bisa merapikan mainan sendiri, maka orang tua pun tak perlu lagi capek-capek membereskan mainan anak.
Bagaimana kalau anak tidak mau atau belum mau?
Sebagai seorang
muslim, batasan kematangan anak itu untuk fase pertama berada pada usia tujuh
tahun. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Apabila anak
telah mencapai usia tujuh tahun, perintahkanlah dia untuk melaksanakan shalat.
Dan pada saat usianya mencapai sepuluh tahun, pukullah dia apabila
meninggalkannya.” (Riwayat Abu Daud).
Nah, kewajiban sholat
saja dimulai pada anak saat usianya sudah baru mencapai tujuh tahun. Dan tetiba
teringat juga saat mengikuti PSPA bersama Abah Ihsan dulu. Beliau sempat
menyinggung tentang pembiasaan atau pengenalan sholat Dhuha kepada anak usia TK
(4-6 tahun). Beliau mengoreksi, bahwa kata beliau, “Saya tuh mengamati kalau di
PAUD Paud, di TK TK yang islami, sok ada yang namanya pembiasaan atau
pengenalan untuk sholat Dhuha ya, misalnya,” kata Abah Ishan. Lalu beliau pun
membuat analogi seperti biasa.
“Pak, Bu, yang
namanya orang kenalan, biasanya bagaimana? Kenalan, nih ayo dua orang maju
sini. Kalian berdua belum kenal. Trus biar kenal. Kenalan. Bagaimana caranya?”
tanya Abah Ihsan. Dua orang Bapak yang disuruh maju pun bersalaman, sambil
menyebutkan nama, layaknya kebiasaan orang yang belum pernah bertemu, agar
saling kenal.
“Nah, pertama salaman
dulu kan, saling menyebutkan nama, minimal sama asal atau alamat, gitu kan ya?”
kata Abah Ihsan. Dan kenalan kan sekali-sekali aja kan, nggak berkali-kali.
Kenalan di awal, sebutin nama dan asal alamat. Lalu duduk. Eh habis itu disajak
salaman, lagi, kenalan lagi. Duduk lagi. Trus nggak lama lagi diajak kenalan
lagi, salaman lagi. BΓͺte kan kita? Atau kita mikir, ini orang jangan-jangan
kenapa sih? Amnesia? Kan tadi udah diajak kenalan.” Kata Abah Ihsan dengan gaya
humornya yang khas sehingga membuat seluruh peserta PSPA yang hadir di ruangan
tertawa.
“Atau kalau yang
namanya kenalan, itu kan cukup singkat aja ya Pak, Bu, seperlunya,” lanjut Abah
Ihsan lagi. “Salaman, trus sebut nama, asal, udah cukup. Lah kalau ada orang
yang kenalan begini, “Halo, salam kenal, saya Ajis (nama favorit Abah), dari
Bandung, punya istri satu, namanya Eneng, anak tiga, yang satu begini, sekolah
disana, yang dua sekolah disitu, aduh suka bandel susauh diatur sampai Omanya
juga gemes ama dia. Sekolahnya dianterin, kan sayanya sibuk ya jualan di
pasar.” Heloo, gimana kalau kalian baru ketemu orang pertama kali, terus
kenalan, terus cerita begitu banyak? Eneg kan?” kata Abah memberi penjelasan
panjang kali lebar.
“Sama, Pak. Buk.
Sama. Ngenalin anak buat shalat Dhuha, agar kelak besok terbiasa sholat Dhuha
mandiri, tanpa paksaan. Apalagi anak PAD, TK gitu yah.. MasyaAllah… Bawa
mukenah, bawa sarung. Suruh wudhu. Sholat. Sholatnya anteng, g boleh berisik.
Sholat Dhuha sekalian biar tambah akrab tambah kenal 12 rakaat sekalian. Aduuh..
yang ada ntar si anak jadi eneg, jadi bosen mah sama yang namanya Sholat Dhuha
ntar selepas lulus dari sekolah situ. Astaghfirullah.. naudzubillah, jangan
sampai ya,” jelas Abah Ihsan yang langsung membuat peserta PSPA Mak Jleb..
Jleb.. Jleeeb.. Maak..
“Mana nih, para
pengajar-pengajar TK, PAUD, SD Islami, perhatikan ya.. perhatikan yaa..” kata
Abah lagi dengan mimic seirus.
Buat anak-anak usia 0
sampai kurang lebih 7 tahun, seyogyanya memang adalah masa pengenalan, masa
pembiasaan. PE- NGENALAN. PEM-BIASAAN. Kalau sekali-sekali tidak dilakukan ya
tidak apa-apa. Yang penting bagi anak pada masa ini adalah bahwa dia telah
kenal, telah tahu, bahwa ada yang namanya sholat dhuha, missal. Sholat dua
rakaat yang dilakukan pada waktu setelah subuh sampai sebelum dhuhur. Praktek
sholat Dhuha ya cukup sekali seminggu aja. Cukup ya. Sisanya, ya itu tadi,
anak-anak suka cerita, pakai cerita yang dikemas dengan nalar dan bahasa
anak-anak. Orang yang rajin Sholat Dhuha itu rejekinya insyaAllah selalu
dicukupkan oleh Allah, sholat Dhuha itu menyenangkan, dan sebagainya. Begitu
ya.
Ya Allah, demi
mengenang masa PSPA itu, rasanya pengen ikut lageee. Ya Allah… mampukanlah,
hehehe…
Lalu, akhirnya saya
pun merenung kembali tentang tugas Bunsay Game Level 02 ini, apa yang telah
saya lalui dari awal mulai tantangan sampai sekarang, tentang skill yang saya
ingin latih kepada anak, skill yang ingin saya BIASAKAN, saya LATIH, saya
AJARKAN. Ternyata terkadang, saya masih terlalu focus pada hasil, bukan proses.
Seperti misalnya skill
bisa sikat gigi sendiri, saya acapkali masih sering kecewa kalau anak tidak mau
menggosok giginya seharian itu. Kecewa, sedikit gemas sama anak, kenapa sih kok
Haya tidak mau menggosok giginya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pertanyaan yang saya
ulangi terus kepada anak, berharap anak 2 tahun dapat memberikan jawaban yang
memuaskan kepada saya, orangtuanya. Astaghfirullah.
Kenapa sih Haya harus
sikat gigi Bunda?
“Supaya giginya
bersih, sehat, kuat..” Trus kalo udah sehat, bersih, kuat kenapa?” (catt. Ini
dialog khayalan saya saja, anak kecil kan kadang suka menanyakan pertanyaan
berantai).
Saya membayangkan
sendiri, nggak enak ternyata kalau ditanya-tanya terus, di suruh-suruh terus.
Ya Allah, maafkan Bunda ya Nak.
Terus, kemaren
setelah seminggu berlangsung dari hari tantangan, saya merasa sedikit jenuh, ya
bukan hanya jenuh dengan tugas-tugas Bunsay semata, namun juga dengan
keseharian yang ada. Sempet ngobrol sama suami, jawabannya, refreshing sana
alias me time. Tapi saya sudah membayangkan kegiatan yang saya suka, nggak juga
membangkitkan mood. Saran akhir dari suami, tinggal tidur saja sana, katanya.
ya udah, rehat sejenak, tinggal tidur nggak ngapa-ngapain walaupun kerjaan
numpuk banyak. Hiks.. kadang rehat sejenak itu perlu kok untuk bisa berlari
lagi lebih jauh. Ingat kisah penebang kapak?
Baiklah, saya kopikan
disini kisahnya ya.. ini saya copas dari sebuah kiriman di chat wasap saya
JEDA BUKAN BERARTI
ISTIRAHAT
Alkisah, seorang
pemuda bekerja pada pedagang kayu untuk menebang pohon di hutan. Karena gaji
yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si
pemuda penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan
sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target
waktu yang telah ditentukan kepada si pemuda.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan
10 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si pemuda, sang majikan
terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa!
Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon. Belum pernah ada yang
sepertimu sebelum ini. Teruslah bekerja seperti itu”.
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya,
keesokan hari si pemuda bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil
merobohkan 8 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi
hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari,
semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah
kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawab
kan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir si pemuda merasa malu dan putus asa.
Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil
kerja yang kurang maksimal dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya,
“Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya
tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari
pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si pemuda.
“Nah, disinilah
masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka
kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa.
Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama,
menggunakan kapak yang sama tetapi tidak
diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun.
Maka, sesibuk apapun,
kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja
dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal.
Jeda bukan berarti istirahat, tetapi berhenti
sejenak untuk mengasah kapak yang tumpul.
Begitu juga dengan
belajar, dzikir, shalat, dan berkumpul dengan orang yang positif bukan berarti
istirahat, tetapi sebuah proses untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi
Sama seperti si pemuda penebang pohon,
Terkadang kita selalu sibuk setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah
terjebak dalam rutinitas yang begitu padat. sehingga sering melupakan sisi lain
yang sangat penting, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru
untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual.
Semoga kita mampu
mengatur waktu dengan baik, sehingga kehidupan kita menjadi dinamis, selalu
berwawasan baru dan untuk menuju Ridhonya.
Terus belajar
terus Berusaha
mencapai ridhonya
Akhirnya, saya
memutuskan untuk tidur siang cukup lama kemarin-kemarin, mumpung ada suami di
rumah juga, hehe. Tentunya setelah di acc sama suami. Dan untuk anak, saya
memutuskan mengamati saja tanpa banyak menyuruh ini itu, mengingatkan ini itu,
dan ternyataa…
masyaAllah, saya
amati memang tanpa disuruh pun sebenarnya Haya sudah banyak menunjukkan
kemampuan mandirinya, missal merapikan barang kesini kesitu. Ya, walaupun
terkadang memang masib belum mau, belum mau meraoikan barang atau mainan
setelah selesai main, belum mau disuruh gosok gigi, belum mau bilang kalau mau pergi main. Ya, namanya
juga kan pembiasaan. Sebentar sudah terbiasa, sebentar belum terbiasa. Ya Allah,
emak saja juga belum konsisten kok nak. Masih suka ngeloyor pergi aja tanpa
pemberitahuan. Huhuhu.. sekali lagi, maafin Bundamu ini ya nak.
InsyaAllah setelah
ini, Bunda akan lebih woles lagi nak. Menghargai proses belajarmu setiap wahtu,
setiap hari. Memberikan tauladan sesuai fitrah sebanyak-banyaknya, tentunya
tauladan yang didasari oleh cinta, bukan paksaan. Memang pada fakta dan
kenyataannya, Bunda masih suka gemes dan nggak sabaran, apalagi inii sudah
memasuki bulan Ramadhan, alias bulan ujian. Ya Allah, doakan hamba, berdoa
sama-sama ya nak, semoga Allah mampukan melewati setiap tantangan yang ada. Aamiin…
yaa rabbal ‘alamiyna…
Untuk para pembaca
setia #eaaa.. mohon maafkan segala khilaf dan salah saya apabila ada hal-hal
yang kurang berkenan dalam tulisan saya selama ini. Doakan kedepan bisa menjadi
pribadi yang lebih baik lagi, dan juga bisa menulis lebih baik lagi. Aamiin..
yaa rabbal ‘alamiyna….
Semarang, 1 Ramadhan
1340 H
Marhaban yaa Ramadhan
Bunda Nindya dan
keluarga
https://iwaza.wordpress.com/2015/01/04/mengapa-fase-pendisiplinan-anak-dimulai-pada-usia-7-tahun/
#hari12
#gamelevel1
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar