Basic Life Skills
Kali ini, saya mengajak suami diskusi tentang sebuah pesan yang saya terima di grup wa parenting yang kami berdua ikuti bersama namun terpisah antara para bapak dan para emak, dibawah asuhan Abah Ihsan Baihaqi Ibn Bukhori.
Berikut saya kopikan pesannya:
Seorang ibu sepuh datang menemui saya lalu mengadu tentang anak bungsunya laki-laki, 25 tahun yang akan dipecat dari tempat kerja. .
Anak ini sering bolos kerja, begadang malam, main games seharian. "Bagaimana ya Abah, agar anak saya bisa dewasa, mandiri dan bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri? Apa saya nikahkan dia aja ya? Barangkali sudah pernah anak istri anak saya berubah ?"
Lalu saya bertanya pada ibu ini "Ibu ingin anak mandiri dewasa bertanggung jawab setelah dewasa, tapi saya mau tanya bu, anak ibu sejak SD diminta beresin kamar sendiri tidak? Anak ibu mencuci piring sendiri yang sudah dipakai tidak? Anak inu menyiapkan peralatan sekolah sendir tidak?" Lalu jawab ibu ini: "tidak." .
Lalu saya tanya lagi, menurut ibu, supaya anak dapat berenang menyeberangi sungai dan lautan, anak ibu harus belajar dan berlatih dulu nggak?" lalu jawabnya "tentu saja."
Bagaimana mungkin anak dapat mengarungi lautan kehidupan jika kita tidak bimbing mereka, tidak kita siapkan mereka? Semua itu membutuhkan skill bukan?
Apalagi menyelesaikan masalah kedewasaan dengan disuruh menikah, malah muncul korban baru! Siapa? Istri dan anaknya. Umur boleh nambah, tapi kedewasaan rendah. Orangtua yang salah, anak orang yang jadi korban. Gimana dong solusinya? Bertaubat, perbaiki akhlak pada anak, belajar cari ilmu, ditraining-training saya sering dibahas.
#quoteabahihsan #abahihsan #yukjadiorangtuashalih #kajianabahihsan
Seperti biasa, saya membuka forum diskusi ini setelah waktu sholat maghrib tiba dan setelah jam makan malam. Kebetulan saat itu, Haya sedang main sebentar di tempat tetangga sebelah alias ibu kos yang memang terasnya menyatu dengan rumah yang kami tempati. Jadi, agak bisa leluasa berbincang dengan suami kali ini.
Saya mengawali dengan cerita saya tentang fenomena yang saya sering amati saat ini, yang sering saya temui sepanjang pengetahuan saya, bahwa generasi muda saat ini hidup dalam lingkungan yang menurut saya lumayan berkecukupan dalam artian orang tua mereka banyak yang mampu atau mapan secara finansial, tidak terlalu susah seperti jaman kakek nenek atau kakek buyut dulu.
Kemudian, saya menambahkan tentang pengamatan saya akan orang tua jaman sekarang, ya jaman saya menjadi orang tua sekarang bersama pasangan hidup saya yang satu ini, bahwa para orang tua generasi jaman now (rata-rata lahir pada tahun 80-90an) kemudian melahirkan generasi jaman now (generasi Z yg lahir tahun 2000an) gaya hidup mereka sudah berbeda jauuh dengan gaya hidup orang tua kami dulu (baca: kakek dan nenek generasi Z).
Orangtua jaman sekarang menurut saya cenderung berkecukupan, punya kemapanan finansial yang lumayan baik, ya didukung dengan adanya perkembangan jaman yang semakin canggih, terutama bagi mereka yang melek dengan perubahan jaman dan bisa memanfaatkan peluang dengan sangat baik di era digital ini. Jadinya, anak-anak generasi Z ini memang cenderung berkecukupan dan bisa mendapatkan sesuatu tanpa harus banyak susah payah. Ditambah kecanggihan teknologi yang luar biasa pesatnya, apapun di jaman now serba ada. Serba bisa. Hanya dengan duduk manis bermodal hape atau laptop (ibaratnya) kita bisa makan enak (pesan delivery food dari ojek online), dapat uang (transferan uang dari para pembeli), nonton film (tak perlu ke bioskop), ngobrol sama temen (via skype, wa, dll), belajar (lewat you tube), dan melakukan hal-hal lain. Luar biasa canggihnya.
“Saya bertanya pada suami, melihat fenomena semacam ini Yah, apa yang perlu kita siapkan bersama sebagai orang tua bagi Haya?” tanya saya bersungguh-sungguh pada suami karena kali ini, saya melihat ada kemajuan dalam diri suami untuk menemani saya berbincang sebentar tanpa adanya gangguan dari “setan gepeng.”
“Yaa… dididik dengan baik,” jawab suami masih singkat. Sedikit kecewa plus gemes juga karena suami bener-bener orang yang irit bicaranya.
“Dididik dengan baik bagaimana Yah, seperti apa?” saya menyambar tak sabaran.
“Ya, diajarin hal-hal yang baik,” jawab suami masih setipe dengan jawaban tadi. Saya sedikit menunggu respon lanjutan dari suami, tapi tak kunjung muncul hingga saya melanjutkan lagi unek-unek yang ada dalam kepala saya.
“Kalau Bunda sih, pengennya anak kita nanti, mau laki-laki atau perempuan, mau jadi apapun kelak nantinya, pokoknya harus bisa mengurus kebutuhan pokok hidupnya sendiri. Ya seperti bisa nyuci bajunya sendiri, masak buat diri sendiri, membereskan segala sesuatunya sendiri..” saya menjelaskan.
“Nah, itu namanya apa?” tanya suami?
“Apa?” saya balik bertanya setengah bingung.
“Tadi, kemampuan mengurus diri sendiri, nyuci baju sendiri, bisa masak,” kata suami. Saya mengerutkan kening.
“Namanya basic life skills,” kata suami menjelaskan lebih lanjut. Saya mengangguk-angguk paham dan bersyukur senang dalam hati. Jadi, paling tidak sudah terjadi kesepakatan nantinya. Selama ini, Alhamdulillah suami memang suka membantu di rumah, mulai dari memasak, mencuci baju, kadang juga menyetrika, sampai mengurus anak (memandikan anak, menyuapi) bahkan pekerjaan rumah yang dikerjakan suami saya memang lebih baik hasilnya (lebih rapi, ringkas dan bersih) dibandingkan pekerjaan rumah yang saya kerjakan, termasuk suami yang lebih rajin mengepel rumah daripada saya.
Hal ini menurut saya memang berdasarkan pola asuh dari orang tua dulu. Latar belakang suami berasal dari keluarga besar yang tinggal di kampong (keluarga petani) dan sudah dididik sejak mandiri sedari kecil, untuk mengerjakan apa-apa sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Sedangkan saya, dibesarkan di pinggiran kota dengan kedua orang tua yang bekerja dan selalu ada pembantu rumah tangga yang menetap (tinggal serumah) sewaktu saya dan adik saya masih kecil. Jadi, memang kebanyakan tugas kami (seperti mencuci baju, masak dan membersihkan rumah) mendapat bantuan dari pembantu rumah tangga kami. Orang tua saya lebih menyuruh kami (saya dan adik saya) untuk banyak belajar, belajar dan belajar supaya pintar, supaya bisa sekolah tinggi dan besuk bisa jadi orang (orang sukses (baca: orang yang mapan hidupnya)). Meskipun begitu, saya sendiri menyadari bahwa saya bukan orang yang manja, mau apa-apa dibantu, tapi yang saya rasakan setelah besar adalah saya menjadi orang yang kurang terbiasa dengan hal-hal tersebut, istilahnya kalah tangkas sama suami yang memang sudah terbiasa melakukannya sejak kecil. Apalagi sekarang saat saya menjadi seorang ibu rumah tangga (atas keputusan sendiri dan Alhamdulillah mendapat dukungan suami), saya masih harus terus belajar mengasah basic life skils saya.
Saya kemudian bertanya lagi pada suami, tentang pengalaman-pengalaman dari teman-teman suami tentang pola pengasuhan anak. Suami dulu pernah cerita, ia mempunyai murid les privat seorang anak dosen, yang bahkan sekarang menajdi seorang rector. Kata suami, walaupun dia anak dosen yang pada dasarnya sangat berkecukupan, tetapi orang tuanya melatihnya untuk hidup hemat dan mandiri, memberi jatah sekian setiap bulan dan tidak ada tambahan kecuali darurat.
Belajar dari pengalaman di atas, maka saya menyimpulkan bahwa orang tua, siapapun mereka, sekaya atau semiskin apapun mereka, status mereka di mata masyarakat, pekerjaan, jabatan mereka, yang terpenting adalah pola asuhnya yang mereka terapkan kepada anak-anak mereka. Dan menerapkan pola asuh itu tentunya butuh ilmu yang memadai, ilmu yang sekarang popular disebut dengan ilmu parenting.
Bagi saya sendiri sebagai seorang ibu, jika saya diamanahi anak, baik laki-laki maupun perempuan nantinya, insyaAllah akan saya didik dan ajari basic life skills dengan baik, agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang selalu mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain. Menurut saya bahwa kenyataan di dalam masyarakat Indonesia saat ini memang masih menganggap bahwa pekerjaan rumah adalah semata-mata pekerjaan perempuan, dan akibatnya pola pikir semacam itu tentunya berdampak pada pola asuh di rumah yang cenderung memilah-milah pekerjaan atau pembagian tugas seperti: Anak perempuan: memasak, mencuci baju, menyetrika, menyapu, menjahit. Anak laki-laki: mencuci kendaraan (sepeda, motor, barang-barang lain), memperbaiki sesuatu yang rusak, memasang gas, dll. Padahal basic life skilss yang ada perlu untuk bisa dikuasai oleh semuanya baik anak laki-laki maupun perempuan dalam menjalani kehidupan ini.
Laki-laki cenderung ahli atau bisa melakukan pekerjaan rumahan atau rumah tangga seperti memasak, menjahit, bersih-bersih rumah atau kebun, biasanya karena tuntutan kehidupan atau pekerjaan saja. Misal pandai memasak karena ia memang tukang jualan (perhatikan para penjual makanan di sekitar kita, kebanyakan bapak-bapak, bukan? tukang gorengan, tukan bakso: Bakso Pak Kumis, Bakso Pak Ndut, Bakso Mang Ocim, rata-rata malah menggunakan nama bapak-bapak). Namun, sekali lagi ketika kembali ke dalam rumah, maka urusan pekerjaan rumah tangga seolah-olah mutlak kembali kepada pekerjaan para wanita: para istri, ibu dan anak-anak perempuan di rumah.
Begitulah sesi diskusi saya dengan suami terkait basic life skills. Alhamdulillah saya dan suami sudah pernah ikut sesi seminar parenting bersama selama dua hari, sehingga jika berbicara kepada suami, saya sering merujuk pada referensi yang telah kami ketahui bersama, yaitu pakar parenting Abah Ihsan ibn Bukhari, karena suami sudah pernah ketemu live dengan beliau, sudah tahu kadar keilmuan beliau, karena biasanya para laki-laki itu tipe yang tidak terlalu suka untuk digurui.
Lebih baik repot mengurus anak sekarang (ketika masih kecil) daripada repot mengurus anak ketika ia sudah besar (Abah Ihsan).
#hari6
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar