Seni Berkomunikasi


Belajar tentang komunikasi produktif  ini asyik ya. Ternyata banyak hal yang belum saya ketahui. Awalnya kalau mendengar kata berkomunikasi, ya hanya sekedar, komunikasi, ngobrol-ngobrol gitu tho? Bercakap-cakap saja? Ya semua orang bisa kan, maksudnya semua orang yang normal panca inderanya? 

Tapi ternyata oh ternyata, komunikasi nggak hanya sekedar ngomong saja, nggak hanya sekedar bicara, mengutarakan apa yang ada dalam pikiran. Komunikasi produktif lebih dari itu. Ada kaidah-kaidah yang harus diindahkan ketika melakukan komunikasi produktif selain isi yang akan disampaikan juga harus memperhatikan beberapa poin-poin diantaranya, memilih waktu yang tepat, intonasi suara, gesture, suasana hati orang yang diajak bicara, bahkan sampai tempat ngobrol juga pengaruh. 

Awalnya, dari mana seorang anak (bayi) pertama kali belajar bicara? Tentu saja dari kedua orang tuanya. Ia belajar meniru, mengkopi, lalu memperagakan gaya-gaya yang biasa dilakukan oleh kedua orang tuanya di rumah. Kalau selama ini gaya komunikasi kedua orang tua (orang dekat) anak tidak kondusif dan tidak produktif? (baca: sering marah, bicara nada tinggi, dan hal-hal senada lainnya) maka, apa yang akan terjadi ada si anak? 

Maka dari itu,orang tua perlu banyak sekali belajar. Salah satunya tentang bagaimana berkomunikasi dengan baik dan benar, berkomunikasi produktif.

Selama ini saya sudah berusaha menerapkan kaidah-kaidah komunikasi produktif di rumah. Tidak mudah, memang, tapi bukan hal yang mustahil juga untuk dilakukan. Kuncinya selalu mencoba dan jangan mudah menyerah.

Nah, tetiba, pada suatu ketika, saya lalu menyadari sesuatu. Latar belakang saya sebelum saya memutuskan untuk menjadi full time mom at home adalah pengajar, pendidik. Saya pernah mengajar atau menjadi seorang guru di sebuah lembaga, baik formal maupun informal.
Sebelum menjadi seorang guru, pastinya saya juga telah belajar dari guru-guru saya. Ada banyak guru saya di lembaga formal mulai dari TK, SD, SMP hingga jenjang Perguruan Tinggi. Saat saya menjadi murid, sudut pandang saya masih terbatas. Masih tentang sudut pandang murid terhadap guru saja. Tapi, ketika saya telah menjadi seorang guru, saya mempunyai dua sudut pandang yaitu sudut pandang saya terhadap murid dan juga sudut pandang murid terhadap guru dari pengalaman-pengalaman saya menjadi murid pada masa sebelumnya.

Selama menjadi murid dengan sekian jumlah guru yang pernah mengajar saya, saya belajar bahwa, ada guru tertentu yang enak cara mengajarnya, dari saya yang benar-benar nol pemahamannya sampai saya bisa mengerti separuhnya, bahkan seutuhnya. Ada juga guru yang tadinya saya sudah lumayan paham, tetapi ketika dijelaskan ulang oleh guru tersebut, pemahaman saya malah menjadi kacau balau.

Istilahnya, ada yang guru pintar hanya untuk dirinya sendiri (kurang cakap menjelaskan sesuatu kepada orang lain/muridnya), ada yang guru cerdas baik bagi dirinya maupun bagi orang lain (muridnya). 

Nah, transfer ilmu alias menjelaskan sesuatu kepada orang lain ini tentulah dibutuhkan sebuah kecakapan, skill komunikasi tingkat tinggi, apalagi bagi seorang guru, yang akan memberikan sebuah ilmu. Jika ilmunya bagus, baik dan benar, tapi cara penyampaiannya salah, maka bisa jadi akan menjadi salah paham dan ujungnya bisa menjadi runyam, benar bukan?

Ibarat orang masak telor. Bahan yang digunakan sama saja, telor dan garam, tapi hasilnya beda. Ada yang masak telor cepok, ada yang masak telur dadar. Ada yang masak telor ceplok tidak begitu asin, ada yang malah keasinan. Padahal bahan bakunya sama. Rasa yang dihasilkan berbeda.
Seperti pengaaman saya, ketika mendengarkan sebuah kajian oleh ustadz A dengan materi yang sebelumnya sudah pernah saya dengar dan disampaikan oleh ustadz B.

Dengan materi yang sama, ketika disampaikan oleh ustadz A, membuat saya merasa lebih paham, lebih bersemangat belajar, dan bersemangat menyambut hari-hari kedepan, dan lebih bersemangat mengamalkan ilmu-ilmu yang telah saya dapat. Dulu, saat mendengar materi yang sama disampaikan oleh ustadz B, reaksi saya biasa saja, ya sekedar bertambah saja wawasan saya, begitu. Tidak ada reaksi tambahan lain. 

Contoh lain, saya berfikir tentang seorang Mario Teguh. Seseorang yang dikenal sebagai seorang motivator yang sering tampil di layar televise. Baliau berdiri di depan public, menyampaikan sesuatu, berkomunikasi. Sama kan dengan yang saya lakukan saat mengajar, saya berdiri di depan murid-murid saya. Lalu mengapa saya tidak disebut sebagai seorang motivator seperti Mario Teguh?
Kata-kata yang saya ucapakan berisi materi, dan terkadang saya menyadur dari perkataan Pak Mario Teguh, memotivasi siswa saya untuk giat belajar. Tapi, tetap saja, saya tidak mendapat embel-embel guru motivator di belakang status saya #ngarepdotcom hehehe…

Apa bedanya? Apa bedanya? 

Isi percakapan, intonasi, gesture, penampilan, charisma, cara menyampaikan pesan dan banyak hal lain dan tentu saja kuncinya adalah banyak latihan dan proses panjang sehingga Mario Teguh akhirnya dikenal sebagai seorang motivator sukses. 

Darimana label ibu pemarah dan ibu penyayang berasal?
Awalnya dari komunikasi, bukan?

Ibu pemarah, seringkali bilang,
“Naak, mandi!” dengan nada tinggi.
“Kalau udah selesai main, dibereskan yaa..” dengan nada tinggi
“Ayo, cepat makaan.. kalau tidak mau makan nanti ayamnya mati!” dengan nada tinggi dan pemilihan kosakata yang kurang tepat.

Ibu penyanyang bin penyabar (yang tentunya sudah belajar materi komprod) berujar,
“Nak, sholihah, sudah sore yuk mandi.” Dengan nada lemah lembut.
“Udah selesai mainnya? Yuk, diberesan dulu.” Dengan suara lembut dan ajakan nyata, bukan Cuma omong doang. Hehehe
 “Yuk, makan yuk. Makan ikan bisa bikin kita pintar loh,” dengan ajakan dan pemilihan kosakata yang tepat.

Daan semua itu tidaklah bisa terbentuk begitu saja, perlu adanya sebuah proses. Menjadi seseorang yang terbiasa berkomunikasi dengan produktif dan konsisten, seperti Pak Mario Teguh. Sehingga ketika beliau berbicara kapan saja dimana saja, seolah kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang senantiasa bisa memotivasi orang lain.

Nah, ternyata dalam berkomunikasi pun butuh sentuhan seni. Tidak asal ngomomg saja.
Yuk, mari jangan lelah tuk terus belajar berkomunikasi yang baik, benar dan produktif. Bagi saya sendiri, tujuan yang ingin saya capai dengan menerapkan komunikasi produktif kepada pasangan adalah, setiap kata yang saya ucapkan kepada pasangan, jelas dan bisa diterima dengan baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham. Sesederhana itu pada awalnya, semoga bisa senantiasa berjalan dengan lancer. Aamiin.. amiin yaa rabbal ‘alamiyna…


#hari14
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang

@institut.ibu.profesional


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan Rintik-rintik, Airnya Bergelombang

Membuat Es Krim Bersama Ayah

Jalan-jalan Ke Jogja