Sikat dan Pasta Gigi Baru
Hari ini Yangti, Yangkung dan saudara pulang kembali ke rumah setelah beberapa waktu beristirahat untuk memulihkan rasa capek-capek setelah perjalanan jauh di tempat kami. Awal-awal pamitan mau ditinggal ya drama, nangis keras hingga tetangga sebelah yang memang cukup dekat dengan Haya keluar rumah, membantu menenangkan Haya sebentar hingga akhirnya Haya ikut masuk dengan tetangga ke dalam rumah. Hohoho, baiklah.
Saya pun pamit pulang sebentar, lalu teringat kalau susu bubuk Haya sudah habis. Nah, mumpung (aji mumpung lagi, hehe) Haya sedang di tempat tetangga, saya pun meminta ijin kepada suami keluar sebentar ke warung dekat rumah untuk membeli susu. Oh ya, saat membeli susu, tetiba ingat juga kalau ingin sekalian membelikan pasta dan sikat gigi baru untuk Haya karena pasta gigi yang lama memang sudah habis, sudah saatnya untuk diganti. Sedangkan sikat giginya sebenarnya masih agak baru, karena baru beli beberapa waktu lalu, cuma bulu sikatnya memang sudah mbrudul karena saya amati Haya kalau sikat gigi, ia tidak sekedar menggosok-gosok gigi pakai sikatnya tapi sikat giginya ia kunyah-kunyah dengan giginya. Hihihi.. tak apalah ya nak.
Nah, saat saya pulang belanja, Haya ternyata sudah pulang dari main dan sudah mengantuk, jadi saya tidurkan dulu. Baru setelah bangun tidur dan mau mandi sore, saya beri ia sikat dan pasta gigi baru yang memang belum saya buka. Ia sangat antusias membukanya.
“Waow…,” katanya sambil mencoba unboxing sikat dan pasta giginya.
“yeeay… pasta gigi dan sikat gigi baru,” kata saya. “Nanti pas mandi sore dipakai ya, pasta dan sikat gigi barunya,” lanjut saya lagi. Haya masih senang mengamati sikat gii dan pasta gigi barunya yang berhadiah mainan mobil mini.
“Itu, ada gambar apa nak disitu?” tanya saya saat Haya mengamati sikat gigi barunya.
“Gambar tiii…” pancing saya.
“Tikus,” lanjut Haya.
“Iya, lihat gigi tikusnya. Putih bersih ya, karena dia rajin sikat gigi,” kata saya.
Tak lama terdengar suara siulan dari teko tanda air rebusan sudah matang. Saatnya Haya mandi, hehehe. Memang, kadang Haya masih memakai air hangat untuk mandi, apalagi sore ini dia bangun tidurnya sudah sore sekali, jai memang hawanya sudah agak dingin.
Saatnya mandi, dan saya kok jadi deg degan. Halah, lebay. Hehehe…
“Nih, Haya masuk kamar mandi dulu yuk, sikat dan pasta giginya dibawa ya. Bunda mau siapin air hangatnya dulu,” kata saya.
Di dalam kamar mandi, saya amati dia membuka pasta giginya, lalu mengoleskannya pada sikat giginya dan tanpa disuruh lagi dua kali, dia menggosk-gosok giginya sendiri. Masya Allah, tabarakallah nak.. syukur saya terharu.
Momen langka ini, dan saya segera mengambil henpon untuk mengabadikannya sebentar saja. Jepret, jepret, hehe… lalu segera focus lagi ke kamar mandi menemani Haya mandi dan gosok gigi.
“Yeay.. Haya pintar sekali sudah mau gosok gigi sendiri,” puji saya. Dia tersenyum.
“Nah, sekarang saatnya mandi,” kata saya.
“Mandi bola,” jawab Haya sambil menuangkan bola-bola plastic warna warninya ke dalam ember.
Mainan Level 2 : Keingintahuan akan Cara Bekerja sebuah Mainan
Sebelum pulang ke rumah, pagi hari Om dan Tantenya sempat keluar membeli sarapan, dan pulang sekalian membeli banyak batu baterai.
“Buat apa?” tanya saya terheran-heran.
“Itu, buat mainannya Haya. Batunya sudah pada habis semua,”kata Omnya.
Memang, baru saja beberapa mainan Haya yang memakai baterai, sudah pada mati alias sudah minta diganti baterai yang baru, hehehe.
Lalu setelah itu, Omnya sibuk mengganti baterai pada beberapa mainan Haya, diantaranya mainan pancing ikan favorit Haya. Haya pun duduk di sebelah Omnya, mengamati dengan antusias bagaimana Omnya mengganti baterai mainannya sehingga dapat dijalankan kembali. Hamper semua tempat baterai mainan ada sekrupnya, jadi memang harus memakai drei untuk membuka tutup tempat baterainya.
Tak berapa lama, selesai sudah. Semua mainan kini dapat menyala kembali. Haya pun bertepuk tangan senang, dan ia sudah asyik bernostalgia dengan mainannya yang hidup kembali, hehehe…
Nah, lalu setelah Omnya pulang, dan rumah kembali sepi, dia pun tetiba mencoba memakai drei yang memang masih tergeletak di antara mainan-mainan Haya. Dia mencoba menggunakan drei pada bagian-bagian mainan yang ada sekrupnya. Pokoknya dia coba-coba diputar-putar hingga akhirnya tak dinyana dia bisa melepasnya. Saat ini yang menjadi sasaran percobaanya adalah mainan pancing ikan favoritnya.
“Aaa….” Dia berteriak kesal saat tidak bisa memasang kembali.
Segera ayahnya yang kebetulan berada di dekatny dating menghampiri.
“Lhoo.. Haya sedang apa? Kok dicopot semua? Duuh, nanti pada hilang ini sekrupnya, nanti nggak bisa buat mainan lagi, ayo dipasang lagi,” kata Ayahnya sembari mencoba meminta drei dari tangan Haya. Tapi, jelas saja Haya menolak, karena ini masih merupakan hal baru untuknya. Ayahnya mencoba lagi dan Haya memprotes keras. Beberapa saat Ayah mencoba membujuk hingga akhirnya mengalah, duduk menemani di sebelah Haya yang masih sibuk bereksperimen.
Saya bilang sama ayahnya, “Udah, biarin dulu Yah, nggak papa Yah. Kalau menurutku itu memang fasenya. Fase mainan level dua, dimana anak sudah mulai penasaran akan cara kerja mainan. Kalau anak laki-laki Yah, kelihatan banget itu. Kemarin saat Tante Dew (yang dulu tinggal di rumah yang saya tempati sekarang) silaturahim ke Ibu kos, mampir kesini sama anak lelakinya yang sekarang sudah berusia 5 tahun. Tante Dew cerita kalau mainan punya Hanung anak lelakinya itu nggak ada yang awet. Mainan pancing ikan seperti ini, Cuma bertahan dua hari. Hari pertama dipakai mainan biasa sampai bosan, dan hari kedua, mulai dipreteli bagian-bagiannya. Sama kaya Omnya Haya dulu (alias adik lelaki saya), mainannya jarang ada yang awet karena setelah puas buat mainan saja, maka akan naik ke level berikutnya : level unboxing maianan. Beda sama anak perempuan pada umumnya, yang seringkali awe punya mainan, soalnya anak perempuan biasanya kalau punya mainan ya sekedar diaminkan aja sesuai fungsinya, nggak sampai di unboxing,” ujar saya panjang lebar. Ayahnya hanya geleng-geleng kepala saja mendengarnya. Akhirnya beliau pun menyingkir.
“Bunda, sini..” panggil Haya. Saya pun beranjak mendekat.
“Haya, lagi apa sayang?” tanya saya.
“Ini, pasang-pasang ini loh,” jawabnya sambil masih sibuk memutar-mutar dreinya pada beberapa sekrup disitu. Saya mengamatinya dan diam-diam merasa salut bahwa ternyata dia sudah bisa membukanya sendiri dengan tangan mungilnya. Masya Allah tabarakallah nak.
“Wah, Haya sudah bisa buka sendiri ya.. nanti kalau sudah dicopot, dipasang lagi ya saying,” kata saya.
“Hem,” jawabnya pasti sambil membuak sekrup terakhir. “Yeay,” dia melonjak kegirangan.
Setelah itu, memang saya amati dia memasang kembali bagian-bagian yang telah dicopotnya. Saat masih ada yang belum pas terpasang, saya membantu membetulkan posisinya. Lalu setelah itu, dia kembali sibuk memasang sekrupnya kembali hingga akhirnya, mainan pancing ikannya sudah bisa terpasang dengan baik seperti semula dan bisa dipakai mainan seperti biasa.
“Wah, terima kasih sayang. Haya hebat deh sudah bisa pasang-pasang sendiri mainanya,” puji saya saat dia selesai memakai dreinya.
Bagi saya, ini juga merupakan bagian dari merapikan mainan sendiri. Setelah dia membongkar alias unboxing mainannya, dia mencoba memasangnya kembali (alias merapikannya) agar bisa kembali seperti sediakala dan bisa dipakai bermain kembali, tidak lantas meninggalkannya begitu saja.
Berani Tega dan Tegas
Perihal perijinan, meminta ijin sebelum melakukan sebuah aktifitas. Terlihat sepele tapi hal ini menurut saya harus dilatih sejak dini agar anak terbiasa nantinya, karena menurut saya, kalau ditelaah lebih lanjut hal perijinan ini besar manfaatnya (dampaknya).
Dan saat saya merenungi hal ini, saya menemukan bahwa masalah ijin iini juga diatur dengan detil oleh agama yang saya anut. Contohnya seperti ijin masuk rumah orang, jika sudah tiga kali salam namun belum ada tanggapan dari pemilik rumah, maka sebaiknya pulang saja. Kemudian, ijin seorang istri pada suami, saat mau keluar rumah, saat melaukan beberapa aktifitas seperti puasa sunah, ikut komunitas atau aktifitas lain di luar kewajibannya sebagai seorang istri.. masyaAllah.. tapi saya tidak akan membahas hal ini disini.
Kembali kepada tantangan diri saya untuk meminta ijin kepada anak jika saya ingin melakuaan sebuah aktifitas saat sedang membersamai anak. Kalau meminta ijin ada suami sih, gampang saja ya.
“Yah, saya mau keluar sebentar, beli ini itu di warung sana,” kata saya.
“Ya, silahkan, atau nanti saja belinya,” jawaban Ayah. Dialognya tentu saja jelas dan no baper, hehehe..
Lha kalau sama anak? Hhohohooo… inilah yang disebut tantangan. Itulah kenapa saya masih saja memakai ajian aji mumpung, hihihi…
Harus bisa tegas kepada diri sendiri juga tega terhadap anak. Agar anak bisa terbiasa nantinya, terbiasa memahami sebuah situasi dan kondisi. Kalau direnungi lebih lanjut, masalah perijinan ini erat juga kaitannya dengan kemampuan mengambil keputusan nantinya.
#hari5
#gamelevel1
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar