Surga di Telapak Kaki Ibu



Setelah sebelumnya saya fokus mencoba menerapkan komunikasi produktif pada pasangan, kini saya ingin mencoba menerapkan komunikasi produktif pada anak.

Putri saya baru satu, Haya yang sekarang berusia 29 bulan dan memang sedang aktif-aktifnya baik dalam hal beraktifitas kesana kemari (lari, lompat-lompat, naik, turun) maupun dalam hal berbicara (ayah mana, bunda mana, nama anggota keluarga disebut satu-satu, ini apa, dimana? Buat apa? Kata tanya semua!) sehingga kadang saya memang merasa sedikit kewalahan dengan berondongan pertanyaannya yang terus tiada henti. 

Hal lain yang mulai berkembang dari Hayadalah, ia mulai bisa membedakan sesuatu, benda-benda, dan juga maksud dari perkataan, seperti jangan dan boleh.

Nah, hal lain yang juga sedang berkembang darinya, adalah ia juga mulai pintar menggoda bundanya. Salah satu hal yang saya alami ketika snack time tiba. Saat itu saya memberinya sebuah waferroll coklat. Ia menerimanya dengan tangan kanan, tapi kemudian memakannya dengan tangan kiri.

Saya mengingatkannya, “adek solihah, makannya pakai tangan kanan ya.” Dia hanya tersenyum saja walau saya yakin ia tahu maksud dari perkataan saya dan tetap memegang waferrollnya dengan tangan kiri. Lalu, dengan ekspresi sengaja ia mulai memasukkan waferroll ke mulut dengan tangan kirinya.

Saya bilang, “no..no..no..” sambil menggerakkan jari telunjuk saya ke kanan dank e kiri tanda tidak boleh. Dia tertawa girang melihat saya melakukan hal itu. Lalu, ia kembali mencoba memasukkan waferroll yang masih ia pegang dengan tangan kiri ke mulutnya. Kembali saya melakukan adegan tadi, bilang “no..no..no..” sambil menggerakkan jari telunjuk saya. Dan Haya kembali tertawa girang.

Adegan selanjutnya masih sama seperti tadi. Dia kembali tertawa girang. Emakpun mulai gemas.
Lalu, pada akhirnya ia memindahkan waferroll ke tangan kanannya dan mencoba memasukkannya ke dalam mulutnya.

Saya otomatis bilang, “Bismillah…yummy..yummy…good sambil menunjukkan jempol tangan saya.” Dia tertawa senang sambil mengunyah potongan waferroll dalam mulutnya.

Lalu, kembali dia menggoda saya, memindahkan waferroll ke tangan kirinya dan mencoba memasukkannya ke mulutnya. Saya pun bilang, “no.. no.. no..” sambil menggerakkan jari telunjuk saya. Haya tertawa girang lagi.

Kemudian, dia memindahkan waferroll ke tangan kanannya lagi, dan kembali saya bilang, bismillah, yummy..yummy.. good… good.. sembari menunjukkan jempol tangan saya. Dia pun tertawa girang sambil menggigit potongan waferroll ke dalam mulutnya.

Dan begitulah, dua adegan di atas berulang-ulang hingga sepotong waferroll habis dimakan si Haya. Emak pun tersenyum lega dan bahagia. MasyaAllah..

“Alhamdulillah, Haya pintar ya, mau belajar makan dengan tangan kanan.
“Nanti kalau makan lagi, pakai tangan kanan ya,” ucap saya ,memberi pujian kepada Haya atas usahanya untuk bisa konsisten belajar makan dengan tangan kanan. Haya hanya tersenyum bahagia sambil terus mengunyah.

Begitulah ya, perjuangan seorang ibu untuk mengajari anak sebuah kebaikan. Jadi emah memang harus sabaaar dan panjang usussnya. Mengajari anak sebuah kebaikan, walaupun terlihat sepele, missal mengajari anak untuk makan dengan tangan kanan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh islam sebagai agama kita, ternyata bukan hal yang mudah dan gampang. Itu baru soal makan dengan tangan kanan. Belum lagi hal-hal lainnya.  Maka, kadang memang kalau puya anak kecil di rumah, kondisi rumah pun mejadi hal yang nomor sekian, yang penting ngurus anak dulu. Jadi, para suami, hendaklah juga bisa menahan diri untuk bertanya ketika pulang ke rumah dan melihat rumah masih berantakan, ngapain aja sih seharian di rumah? Karena para suami tak kan pernah tahu lelah dan payahnya seorang ibu bersama anak di rumah. 

Bagi saya sendiri, saya pun menjadi sadar, kenapa dalam Ilam diibaratkan surga itu ada di telapak kaki ibu. Karena memang, begitu besar dan berat perjuangan para ibu untuk menanamkan hal-hal yang benar semenjak anak masih kecil. Menanamkan sebuah pondasi hidup yang baik dan benar sesuai tuntunan agama. Itulah kenapa lagi-lagi, memang surag hanya ada di telapak kaki ibu, bukan ayah.

Sumber pahala bagi ibu juga, ketika mengajarkan anak-anaknya kebaikan walau sekecil apapun. Satu pesan dari guru saya, ajarilah anak-anakmu membaca alfatehah sendiri, jangan serahkan pada guru ngaji. Karena bacaan surat al fatehah akan dipakai dia sholat seumur hidupnya. Jika engkau sebagai orang tua yang mengajarkan, maka pahalanya akan terus mengalir kepadamu, sebagai orang tuanya. Insya Allah.



#hari16
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang

@institut.ibu.profesional


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan Rintik-rintik, Airnya Bergelombang

Membuat Es Krim Bersama Ayah

Jalan-jalan Ke Jogja