Menjadi Ibu: Harus Bisa Multi Peran

Sebagai seorang ibu, dan seorang istri dalam sebuah keluarga, tentunya banyak hal yang perlu dipikirkan oleh para ibu. Hal-hal tentang mamajemen keseharian. Apa yang harus dilakukan oleh ibu. To do list yang harus dikerjakan mulai dari pagi hari, menyiapakan sarapan untuk anggota keluarga, memastikan bekal ada, segala sesuatu beres. Menu keluarga hari ini, jika ibu di rumah maka agenda kegiatan belajar si kecil yang belum sekolah atau yang homeschooling. Pekerjaan rumah seperti masak, menyapu, menyetrika, beres-beres rumah, ngepel, menyiram tanaman jika punya kebun, dan banyak hal lain, memastikan  anaka sehat beraktifitas dengan baik, memastikan suami dalam keadaaan nyaman sehingga bisa bekerja dengan baik. Dan semua hal itu masih terbagi lagi. 

Tentang aktifitas anak, belajar menyesuaikan diri tentang keagiatan apa yang akan dilakukan, sesuai tidak adengan tahap perkembangan anak. Masalah menu di rumah, masak apa, gizinya tercukupi, dari mulaikandungan karbohidrat protein dan lain-lain.
Tentang pekerjaan rumah, mana yang urgent dulu antara mencuci menyetrika, menjemur baju, melipat tumukan baju-baju, beres-beres rumah, ngepel, hingga me time, kebutuhan belajar dan bersosialisali baik lewat online mauoaun altifitas diamsyarakat. Sekedar belanja di teantanga, menyapa tetengga, bapak penjual sayur, dll.

Belum lagi tambahan bagi para ibu bekerja yang juga selalu memastikan kondisi rumah terurus baik tapi juga memikirkan tugas kanotr. Salut saya pokoknya sama ibu bekerja di ranah public. Ya, mereka pastinya tetap harus punya pembantu atau seseorang delegasi untuk mengerjakan tugas tersebut, namun intinya tetap seorang ibu yang harus merencanakannya bukan? Tidak pasrah saja kepada assitesn. Asisten hanya membantu mengerjakan, yang mengatur semuanya tetap adalah seorang ibu, seorang manajer keluarga.

Belum membahas tentang para ibu single parent. Saya angkat jempol tangan dan kaki deh, pinjem jempolnya suami sekalian pokoknya. Masya Allah semoga Allah selalu mengutakan dan memberi rahmatNya. Aamin.

Begitupula dengan suami, banyak hal juga yang dipikirkan oleh suami, terutama mengenai maslaah keamanan keluarga, memastikan sandang pangan dan papan angota keluarga tercukupi, ini dulu. Bahkan ada juga ibu2 yang turut membantu memikirkan hal ini ketika ada para suami yang masih acuh saja tentang hal ini. Lho, memang ada? Iya. Pada sebuah kajian parenting, saya mendengar seorang ibu yang curhat tentang salah seorang kerabatnya, seorang laki-laki yang sudah berkeluarga dan punya anak, namun sehari-hari hobinya adalah ngegame, main ML. astaghfirullah. Hingga akhirnya istri dan keluarga mertua, kelauarga besar masih turut membantu. Bahasan ini telah saya tuliskan di postingan sebelumnya tentang penting nya belajar atau mengajarkan anak tentang basic life skills. 

Nah, multi perannya ibu sudah pasti mengandung dan mengundang banyak tantangan. Baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Nah, tantangan dari dalam diri ini bisa dibangkitkan dengan cara memotivasi diri sendiri, menyugesti diri dengan pikiran-pikiran positif, menambah wawasan, dll.

Kalau tantangan dari luar nih biasanya yang bikin agak baper. Tapi kalau diri sendiri insyaAllah sudah kuat maka tantangan dari luar sebesar apapun bisa mudah teratasi, insyaAllah.

Nah, tapi kadang kalau lagi baper ya, sebagai seorang wanita itu biasanya butuh partner, butuh teman dukungan, dan sebagai seorang istri partner yang paling dekat adalah suami.
“Yah,tau nggak, tadi pas aku belanja, ya sempet ngobrol-ngobrol sama beberapa ibu yang sedang belanja. Masalah anak gak mau makan, trus aku dibilang begini, begitu…” curhat saya.
“Ya, mereka Cuma bercanda aja kali,” jawab suami menanggapi dengan biasa, netral.
Lain waktu,
“Yah, tadi ketemu sama ibu-ibu, lagi ngomongin soal ini, trus ya biasa, jadi begini-begitu.. kalau ngomongin orang kan mesti nanti kalau aku nggak ada pasti diomongin juga kan? Jadinya aku melipir pergi aja ah,”
“Yaa.. itu kan belum tentu betul…” kata suami santai.

Ah, lagi-lagi Ayah, selalu berusaha menjawab atau menanggapi sesuatu dengan sudut pandang yang netral. Bersikap tenang. Jadi akhirnya saya juga mencoba introspeksi diri lagi.

Bukankah saya juga sudah tahu, hukum semua kejadian yang berlaku adalah netral? Yang menjadi pembedanya adalah bagaimana reaksi kita menyikapinya?
Kejadian atau peristiwa susu yang ditumpahkan anak adalah netral, bukan? Dan itu sudah terjadi. Ibarat nasi sudah jadi bubur, ga bisa balik lagi.

Lalu, reaksi kita setelahnya yang menjadi pembeda.

Setelah susu tumpah, apa yang mau kita lakukan?

Memarahi anak? Mengajak anak membersihkan tumpahan susu? Atau diam saja?
Reaksi yang kita lakukan setelah peristiwa terjadi itulah yang penting dan bisa jadi memicu reaksi selanjutnya, bahkan hingga masa mendatang. Istilah ini disebut dengan butterfly effect.

Jika kita memarahi anak saat malam, menurut seorang psikolog, walaupun Cuma sekali, namun bisa jadi berpotensi terekan dalam ingatan anak bahwa orang tuanya adalah seorang yang pemarah, jadi harus hati-hati. Masalah susu tumpah kan sepele, dan apalagi anak tak sengaja menumpahkannya. Saat anak punya sedikit perspepsi dalam dirinya bahwa orangtuanya adalah seorang yang pemarah maka hal ini bisa saja berefek dalam perilaku anak nantinya. Seperti anak menjadi sedikit takut, saat-saat tertentu, missal ketika dia tak sengaja memecahkan gelas lagi, tak sengaja membuat tumpukan buku yang sudah rapi jadi berantakan, dan sebagainya.

Begitu pula tadi kembali ke persoalan ibu-ibu yang suka membicarakan orang lain. Bagaimana dengan tanggapan kita? Mau bersikap netral atau ikut-ikutan? Jadi baper atau bagaimana? Yang tahu diri kita adalah diri kita sendiri. Orang lain memang mudah sekali berkomentar tentnag hal apapun yang kita lakukan, terutama tadi ya, masalah kita sebagai ibu terhadap anak kita. Tentang pola asuh, pola makan, dll. 

Jika kita yakin dengan apa yang kita lakukan, selama kita yakini itu benar, membawa manfaat ya sudah, jalani dan no baper-baper lagi.

Belajar dari percakapan saya dengan suami, saat saya berbicara, menyampaikan sesuatu informasi tadi, saya membawa emosi. Sedangkan tanggapan suami biasa saja, netral no baper. Tidak mendukung saya, juga tidak memihak saya maupun lawan bicara yang saya ceritakan tadi. Yang kadang sesaat membuat saya jadi sedikit bertambah emosi. Namun, setelah itu, saya pun tersadar, bahwa sejatinya ya memang tidak perlu dengan emosian. Becareful with what we think, what we feel, baik itu untuk diri kita sendiri maupun orang lain. 

Menurut seorang psikolog, jika kita banyak berpikir yang buruk-buruk kepada orang lain, bisa jadi karena dalam diri dan pikiran kita juga banyak bermuatan hal-hal negative sehingga apa yang kita keluarkan juga sedikit terkontaminasi dengan hal-hal buruk. Analoginya seperti seseorang menyapu lantai yang memang tidak begitu kotor. Kalau sapunya bersih, maka lantainya pun akan ikut bersih sebersih-bersihnya. Tapi bagaimana kalau sapu yang digunakan kotor, sedikit bernoda lumpur? Maka lantai yang tadinya tidak begitu kotor justru malah akan bertambah kotor.

Begitulah kurang lebihnya. Apapun yang saya sampaikan, saya bertanggung jawab penuh akan hal itu. Akan respon balik yang akan saya terima nantinya. Sebagai seorang ibu yang multi peran, kita juga harus bisa mengendalikan cara kita berfikir dan berkomunikasi, baik kepada diri sendiri, pasangan, anak maupun orang lain sehingga kita menjadi ibu multi peran yang bahagia, no baperan dan selalu bisa menebarkan manfaat kebaikan bagi sesama. Semoga.

#hari10
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang

@institut.ibu.profesional


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan Rintik-rintik, Airnya Bergelombang

Membuat Es Krim Bersama Ayah

Jalan-jalan Ke Jogja